Jakarta (Indonesia Window) – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa prinsip herd immunity atau kekebalan kelompok dalam membendung pandemik COVID-19 adalah tindakan tidak etis dan amoral, dan tidak bisa dijadikan pilihan bagi negara-negara untuk mengalahkan virus tersebut.
“Kekebalan kelompok adalah konsep yang digunakan untuk vaksinasi, di mana suatu populasi dapat dilindungi dari virus tertentu jika ambang batas vaksinasi tercapai,” jelas Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada konferensi pers di Jenewa, Swiss pada Senin (12/10).
Tapi, lanjutnya, menghadapi pandemik harus dilakukan dengan melindungi masyarakat dari virus, bukan dengan memaparkan mereka.
“Tidak pernah dalam sejarah kesehatan masyarakat memiliki kekebalan kawanan digunakan sebagai strategi untuk menanggapi wabah,” kata Ghebreyesus, menyebut herd community sebagai ‘hal yang berrmasalah secara ilmiah dan etika’.
Untuk memperoleh kekebalan kawanan dari campak, misalnya, sekitar 95 persen penduduk harus divaksinasi.
Namun, menurut perkiraan WHO, kurang dari 10 persen populasi global memiliki kekebalan terhadap virus corona, sehingga membuat sebagian besar dunia rentan.
“Membiarkan virus bersirkulasi tanpa terkendali berarti membiarkan infeksi, penderitaan, dan kematian yang tidak perlu,” kata Ghebreyesus.
Dia memperhatikan bahwa dalam beberapa hari terakhir, dunia mengalami peningkatan infeksi paling cepat dari pandemik ini, terutama di Eropa dan Amerika.
“Setiap hari dari empat hari terakhir mencatat jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan sejauh ini,” katanya, seraya menambahkan, “Banyak kota dan negara juga melaporkan peningkatan rawat inap dan perawatan intensif di tempat tidur.”
Dirjen WHO juga mengingatkan bahwa sebagai ‘pandemik yang tidak merata’, setiap negara merespons secara berbeda, dan menekankan bahwa wabah dapat dikendalikan dengan menggunakan langkah-langkah yang ditargetkan, seperti dengan mencegah penularan, isolasi, dan pengujian.
“Ini bukan pilihan antara membiarkan virus berjalan bebas dan mematikan masyarakat kita,” tegasnya.
WHO mencatat bahwa banyak yang telah memanfaatkan waktu tinggal di rumah mereka untuk mengembangkan rencana, melatih petugas kesehatan, meningkatkan waktu dan kapasitas pengujian, serta meningkatkan perawatan pasien.
Teknologi digital membantu membuat alat kesehatan masyarakat yang telah teruji menjadi lebih efektif, seperti aplikasi ponsel cerdas yang lebih baik untuk mendukung upaya pelacakan kontak.
“Kami sangat memahami rasa frustrasi yang dirasakan banyak orang, komunitas, dan pemerintah saat pandemik berlarut-larut, dan ketika kasus meningkat lagi,” kata Ghebreyesus
Namun, tidak ada “jalan pintas, dan tidak ada peluru perak (jalan pintas)”, tambahnya.
Hanya pendekatan komprehensif, dengan menggunakan setiap alat, yang terbukti efektif.
“Pesan saya untuk setiap negara yang sekarang mempertimbangkan pilihannya adalah, Anda juga bisa melakukannya,” ujar Dirjen WHO.
Laporan: Redaksi