China mendukung visi komunitas global yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif, sementara Washington berupaya mempertahankan posisi dominasi mereka yang sudah berlangsung lama.
Lima, Peru (Xinhua/Indonesia Window) – Dalam pertemuan penting pada Sabtu (16/11), Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, menegaskan kembali komitmen mereka untuk mempertahankan dialog, mendorong kerja sama, dan menghindari konflik.
Beberapa tahun terakhir ini, hubungan China-AS mengalami pasang surut. Di Washington, mentalitas menang-kalah (zero-sum) yang meluas terhadap China telah berubah menjadi kebijakan untuk menghambat perkembangan negara Asia tersebut.
Terdapat “konsensus bipartisan (di Washington) bahwa persaingan strategis dengan China harus berlanjut, sekalipun sedikit yang sepakat dengan tujuan akhir Amerika untuk strategi ini,” kata Yilun Zhang, research associate sekaligus manajer program Perdagangan dan Teknologi di Institute for China-America Studies, dalam sebuah pernyataan tertulis kepada Xinhua.
Dari tarif hingga pembatasan teknologi semikonduktor, langkah-langkah ini tidak hanya mengganggu hubungan bilateral namun juga berdampak pada seluruh rantai pasokan global.
Sementara itu, China dan Amerika Serikat memiliki pandangan dunia yang berbeda. China mendukung visi komunitas global yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif, sementara Washington berupaya mempertahankan posisi dominasi mereka yang sudah berlangsung lama.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mendalam ini, pertemuan tingkat tinggi pada Sabtu itu menggarisbawahi pemahaman bersama, yaitu dengan risiko yang begitu besar, tidak ada pihak yang mampu menanggung bahaya konfrontasi.
Kedua belah pihak harus terus mencari cara yang tepat bagi dua negara besar tersebut untuk hidup rukun satu sama lain, dan mewujudkan koeksistensi damai yang langgeng di planet ini, ujar Xi dalam pertemuan itu.
“Perangkap Thucydides bukanlah sebuah keniscayaan sejarah. Perang Dingin baru tidak boleh terjadi dan tidak dapat dimenangkan,” papar Xi dalam pertemuan di sela-sela Pertemuan Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) ke-31 di Lima, ibu kota Peru.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah politisi, akademisi, dan media Amerika menganut mentalitas menang-kalah, memperingatkan tentang apa yang disebut ‘Perangkap Thucydides’, gagasan bahwa negara yang sedang bangkit akan menimbulkan ketakutan pada negara yang sudah mapan, yang mengarah pada konflik atau perang.
Kendati demikian, China secara konsisten menolak premis ini. Di dunia yang dibentuk oleh globalisasi, di mana negara-negara saling berhubungan dan kepentingan mereka sangat terkait, China berpendapat bahwa paradigma lama tentang politik kekuasaan dan sintasan yang paling layak (survival of the fittest) harus tunduk pada visi yang lebih kooperatif, yang bertujuan untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia.
“Amerika Serikat dapat menghindari kerugian besar yang akan timbul akibat memerangi China dalam berbagai isu utama dengan mengadopsi jalur yang saling menguntungkan,” kata Denis Simon, pakar veteran hubungan AS-China yang juga merupakan mantan executive vice chancellor di Duke Kunshan University.
“Saling menghormati, sensitivitas lintas budaya yang lebih besar, dan hubungan timbal balik yang lebih baik dapat membuahkan hasil yang saling menguntungkan,” ujar Simon.
Dalam pertemuan pada Sabtu, Xi meminta pihak AS untuk memiliki persepsi strategis yang benar tentang China dan memperlakukan satu sama lain secara setara.
Tujuan China untuk hubungan China-AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan tetap tidak berubah, kata Xi, seraya menambahkan bahwa komitmen China untuk saling menghormati, koeksistensi damai, dan kerja sama yang saling menguntungkan sebagai prinsip-prinsip dalam menangani hubungan China-AS tetap tidak berubah.
Dalam kesempatannya, Biden menekankan bahwa hubungan AS-China adalah hubungan bilateral yang paling penting di dunia.
Amerika Serikat tidak menginginkan Perang Dingin baru, tidak ingin mengubah sistem China, aliansinya tidak ditujukan untuk melawan China, tidak mendukung “kemerdekaan Taiwan”, tidak ingin berkonflik dengan China, dan tidak memandang kebijakannya soal Taiwan sebagai cara untuk bersaing dengan China, ungkap Biden.
Dalam empat tahun terakhir, kedua presiden telah bersama-sama membawa dialog dan kerja sama China-AS kembali ke jalurnya. Lebih dari 20 mekanisme komunikasi telah dimulai kembali atau dibentuk, dan sejumlah pencapaian positif berhasil diraih di berbagai bidang seperti diplomasi, keamanan, ekonomi, perdagangan, urusan fiskal, keuangan, militer, pemberantasan narkotika, penegakan hukum, pertanian, perubahan iklim, dan pertukaran antarmasyarakat.
“Kebutuhan mendesak saat ini adalah menjaga, meningkatkan, dan memperkuat komunikasi antara kedua negara,” ungkap Zhang.
“Seiring dengan meredanya hiruk-pikuk politik pascasiklus pemilihan umum (pemilu) ini, pertukaran antarmasyarakat akan sama pentingnya dengan pertukaran diplomatik,” ujarnya, mengacu pada pemilihan presiden (pilpres) AS yang baru saja selesai, dengan mantan presiden AS Donald Trump muncul sebagai pemenang.
“Generasi berikutnya harus terus saling berinteraksi, tidak hanya untuk mengurangi kesalahpahaman namun juga untuk memperdalam pemahaman dan wawasan tentang China di Amerika Serikat,” tambahnya.
Dalam masa jabatan pertamanya, pemerintahan Trump menganut doktrin ‘America First’ yang menerapkan tarif besar-besaran terhadap para mitra dagang AS. Setelah kemenangannya, kekhawatiran akan meningkatnya proteksionisme kembali merebak di seluruh dunia.
“Kami berharap China akan terus mendukung pesan untuk menjaga sistem perdagangan global tetap terbuka,” ujar Carlos Aquino, direktur Pusat Studi Asia di Universitas Nasional San Marcos, Peru.
“Penting kiranya pesan (untuk menjaga) sistem perdagangan yang bebas dan terbuka akan terus didukung oleh Presiden Xi,” imbuhnya.
Laporan: Redaksi