Jakarta (Indonesia Window) – Arab Saudi optimis tentang hubungannya dengan Amerika Serikat di bawah pemerintahan baru Presiden Joe Biden, kata Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan pada Kamis (21/1) dalam sebuah wawancara TV.
“Kami optimis memiliki hubungan yang sangat baik dengan AS di bawah pemerintahan baru,” kata Menteri Luar Negeri Saudi kepada Al Arabiya.
Perintah eksekutif yang dibuat oleh Presiden Biden “menunjukkan pemahaman tentang masalah umum,” kata Pangeran Faisal dalam wawancara.
Berkenaan dengan krisis Yaman, Menlu Saudi mengatakan, “Pemerintahan Biden akan melihat bahwa kita memiliki tujuan yang sama sehubungan dengan situasi di Yaman”.
Pangeran Faisal memperingatkan, milisi Houthi yang didukung Iran harus menyadari bahwa mengakhiri pertempuran adalah kepentingan yang terbaik bagi Yaman.
“Houthi akan memfasilitasi tercapainya solusi jika mereka memutuskan bahwa kepentingan Yaman adalah yang paling penting,” kata menlu, menambahkan bahwa keputusan Pemerintah AS baru-baru yang menetapkan milisi Yaman sebagai organisasi teroris adalah benar.
Pangeran Faisal juga mengatakan bahwa Perjanjian Riyadh (Riyadh Agreement) adalah “blok bangunan fundamental” untuk mencapai solusi politik di Yaman.
Riyadh Agreement ditandatangani oleh Pemerintah Yaman dan Dewan Transisi Selatan (STC) 5 November 2019 di ibu kota Arab Saudi, Riyadh.
Dewan Transisi Selatan adalah organisasi separatis di Yaman, yang terdiri atas 26 anggota termasuk gubernur dari lima gubernuran di bagian selatan dan dua menteri pemerintah. STC dibentuk pada April 2017 oleh faksi Gerakan Selatan, yang juga dikenal sebagai Al-Hirak Al-Janoubi.
Perjanjian yang digagas oleh Arab Saudi tersebut berfokus pada mengakhiri perebutan kekuasaan atas kendali Selatan yang berisiko memecah Yaman lebih lanjut.
Mengenai kesepakatan nuklir Iran, Presiden Biden mengatakan sekutu Teluk dan Israel akan diikutsertakan dalam pembicaraan di masa depan yang berfokus pada kemampuan nuklir Iran serta rudal balistiknya dan aktivitas regional yang merusak.
Kesepakatan Iran sebelumnya, juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), ‘lemah’ karena kurangnya koordinasi dengan negara-negara di kawasan, tambah Menlu Saudi.
Laporan: Redaksi