Ambang batas pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celsius akan terlampaui dalam tujuh tahun ke depan karena emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil terus meningkat.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Suhu Bumi mungkin akan melewati ambang batas pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celsius dalam tujuh tahun ke depan karena emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil terus meningkat.
Para ilmuwan memperingatkan hal tersebut pada Selasa, dan mendesak negara-negara yang ikut serta dalam pembicaraan KTT Iklim PBB COP28 untuk “bertindak sekarang juga” terhadap polusi batu bara, minyak dan gas.
Pertarungan mengenai masa depan bahan bakar fosil mulai terjadi pada pertemuan puncak iklim PBB di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), dengan para pencemar skala besar berusaha mengabaikan seruan guna membuat perjanjian untuk menghapuskan penggunaan energi intensif karbon yang bertanggung jawab atas sebagian besar gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.
Polusi bahan bakar fosil yang menghasilkan CO2 meningkat 1,1 persen tahun lalu, menurut konsorsium ilmuwan iklim internasional dalam penilaian tahunan Proyek Karbon mereka, dengan melonjaknya emisi di China dan India – yang kini merupakan penghasil emisi terbesar pertama dan ketiga di dunia.
Mereka memperkirakan bahwa ada kemungkinan 50 persen pemanasan akan melampaui target kesepakatan Paris yaitu 1,5 derajat Celcius selama beberapa tahun hingga sekitar tahun 2030. Di sisi lain, mereka para ilmuwan juga mencatat adanya ketidakpastian seputar pemanasan yang disebabkan oleh gas rumah kaca non-CO2.
“Hal ini menjadi semakin mendesak,” kata pemimpin penelitian Pierre Friedlingstein, dari Institut Sistem Global Universitas Exeter, kepada wartawan.
“Waktu antara sekarang dan 1,5 derajat menyusut secara besar-besaran, jadi untuk menjaga peluang tetap di bawah 1,5 Celsius, atau mendekati 1,5 Celsius, kita perlu bertindak sekarang.”
Perjanjian Paris tahun 2015 menunjukkan komitmen negara-negara untuk membatasi kenaikan suhu jauh di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan era pra-industri, dan sebaiknya 1,5 derajat Celcius.
Sasaran 1,5 Celsius yang lebih ambisius kini menjadi semakin mendesak seiring dengan munculnya bukti bahwa pemanasan yang melampaui angka tersebut dapat memicu titik kritis yang berbahaya dan tidak dapat diubah.
Untuk menjaga batas tersebut, panel ilmu iklim IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) PBB mengatakan emisi CO2 perlu dikurangi setengahnya pada dekade ini.
Hal ini menjadi tugas yang lebih menantang karena emisi terus meningkat, demikian temuan Proyek Karbon Global.
Glen Peters, peneliti senior di Pusat Penelitian Iklim Internasional CICERO, mengatakan emisi karbon dioksida sekarang enam persen lebih tinggi dibandingkan ketika negara-negara menandatangani perjanjian Paris.
“Segala sesuatunya berjalan ke arah yang salah,” katanya.
Hal ini terjadi meskipun ada lonjakan energi terbarukan yang menjanjikan, yang merupakan isu utama dalam perundingan iklim Dubai di mana lebih dari 100 negara telah menandatangani seruan untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada dekade ini.
“Angin, surya, kendaraan listrik, baterai, semuanya berkembang pesat, dan ini merupakan hal yang luar biasa. Namun itu hanya setengah dari cerita yang ada,” katanya. “Setengahnya adalah pengurangan emisi bahan bakar fosil. Dan upaya yang kita lakukan belum cukup.”
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan bakar fosil menyumbang 36,8 miliar ton dari total 40,9 miliar ton CO2 yang diperkirakan dihasilkan tahun ini.
Beberapa negara penghasil polusi utama telah mencatat penurunan emisi CO2 tahun ini – termasuk penurunan sebesar tiga persen di Amerika Serikat dan penurunan sebesar 7,4 persen di seluruh Uni Eropa.
Namun China, yang menyumbang hampir sepertiga emisi global, diperkirakan akan mengalami kenaikan CO2 sebesar empat persen pada tahun ini, demikian temuan penelitian tersebut, seiring dengan meningkatnya penggunaan batu bara, minyak, dan gas saat negara tersebut terus pulih dari dampak penguncian pandemik Covid-19.
Sementara itu, peningkatan emisi CO2 lebih dari delapan persen di India berarti negara tersebut kini telah melampaui UE sebagai negara penghasil bahan bakar fosil terbesar ketiga, kata para ilmuwan.
Baik di India maupun China, peningkatan permintaan listrik melampaui penerapan energi terbarukan secara signifikan, kata Peters.
Emisi dari sektor penerbangan meningkat sebesar 28 persen tahun ini seiring dengan bangkitnya tingkat emisi terendah di era pandemik.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Earth System Science Data.
Sumber: AFP
Laporan: Redaksi