Banner

Mungkinkah Rohingya kembali ke kampung halaman mereka?

Ilustrasi. Area sebuah kamp pengungsi masyarakat Rohingya. (SH Saw Myint on Unsplash)

Jakarta (Indonesia Window) – Gelombang eksodus warga Rohingya yang terpaksa keluar dari kampung halamannya di Negara Bagian Rakhine demi menyelamatkan diri dari upaya pembersihan etnis oleh pasukan bersenjata Myanmar pada 2017 kini hanya menyisakan 10 persen dari total pendudukan etnis tersebut.

Menurut laporan wartawan BBC Jonathan Head yang dikutip di Jakarta, Selasa, pembantaian yang luas dan berkelanjutan terhadap komunitas Rohingya pada kekerasan militer 2017 telah berakhir. Hal ini berarti para pengungsi dapat kembali ke kehidupan mereka sebelumnya.

Head menulis bahwa satu-satunya persiapan yang terlihat untuk mengembalikan pengungsi dalam jumlah besar adalah kamp transit yang bobrok seperti Hla Poe Kaung, dan kamp relokasi seperti Kyein Chaung. Beberapa pengungsi tampaknya masih harus mengobati trauma yang mereka derita selama kekerasan yang terjadi pada dua tahun lalu demi menghadapi masa depan di kamp-kamp semacam itu.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang ketulusan dari komitmen Myanmar untuk membawa para pengungsu kembali ke kampung halaman mereka.

“Saya bertemu dengan seorang pemuda Rohingya yang terlantar dalam perjalanan kembali ke Yangon. Kami harus berhati-hati; orang asing tidak diizinkan untuk bertemu warga Rohingya tanpa izin. Pemuda ini telah terperangkap bersama keluarganya di kamp IDP selama tujuh tahun, setelah diusir dari rumahnya di Sittwe. Dia adalah satu dari 130.000 orang Rohingya yang mengungsi akibat pecahnya kekerasan pada tahun 2012.”

Banner

“Dia tidak bisa melanjutkan Pendidikan ke universitas, atau melakukan perjalanan ke luar kamp tanpa izin. Sarannya bagi para pengungsi di Bangladesh adalah jangan mengambil risiko untuk kembali, dan mendapati diri mereka juga dibatasi dalam kamp-kamp yang dijaga.”

Kata pemerintah

Head melanjutkan laporannya, “Kami mendekati juru bicara pemerintah Myanmar untuk menanggapi temuan kami di Rakhine, tetapi belum menerima jawaban mereka.”

Secara resmi, pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan para pengungsi secara bertahap, bekerja sama dengan Bangladesh. Tetapi para menteri masih menyebut Rohingya sebagai orang Bengali, yang mereka katakan tiba dalam gelombang imigrasi ilegal selama 70 tahun terakhir.

Meski hanya sedikit bukti imigrasi semacam itu, keyakinan yang tersebar luas di Myanmar adalah Rohingya bukan merupakan bagian dari Myanmar.

Pemerintah menolak permintaan Rohingya untuk memperoleh kewarganegaraan dan menjamin kebebasan bergerak bagi mereka.

Banner

Pemerintah bersedia memberi mereka apa yang disebut Kartu Verifikasi Nasional, yang dianggap sebagai langkah menuju kewarganegaraan pada akhirnya. Tetapi sebagian besar orang Rohingya menolak kartu ini karena mereka harus mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bengali.

Pada puncak kampanye militer melawan Rohingya pada awal September 2017, komandan angkatan bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan mereka mengurus apa yang disebutnya “bisnis yang belum selesai” yang tersisa dari tahun 1942.

Dia merujuk pada pertempuran antara pasukan Jepang dan Inggris di Rakhine, di mana Rohingya dan Buddha Rakhine mendukung pihak yang berseberangan, sering saling membunuh, dan menyebabkan gerakan besar-besaran warga sipil yang terusir. Komandan itu mengatakan Muslim telah membanjiri negara bagian Rakhine utara yang sekarang menjadi perbatasan dengan Bangladesh.

Dua distrik Maungdaw dan Buthidaung di perbatasan, di mana terdapat sejumlah desa yang sebagian besar desa hancur sejak 2017, adalah satu-satunya wilayah Myanmar dengan mayoritas Muslim.

Sejak eksodus warga Rohingya pada 2017, mungkin kini hanya 10 persen Muslim yang tersisa dari populasi asli, dan menjadi minoritas.

Penolakan pemerintah untuk mengizinkan penyelidikan yang kredibel dan menawarkan kebebasan bergerak atau kejelasan menuju kewarganegaraan, akan menghalangi sebagian besar pengungsi untuk kembali ke Rakhine.

Banner

Hal ini bisa menyeimbangkan antara Muslim dan non-Muslim apa adanya; mungkin “bisnis yang belum selesai” kini telah selesai.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan