Prospek perdamaian masih suram, mengingat perpecahan mendalam mengenai syarat gencatan senjata yang masih terjadi di antara Israel, Hamas, dan pemangku kepentingan regional lainnya seperti Mesir.
Kairo, Mesir (Xinhua/Indonesia Window) – Putaran terbaru perundingan mengenai gencatan senjata di Gaza, yang dinantikan oleh banyak pihak, kembali dilanjutkan sejak Ahad (27/10) di Doha, ibu kota Qatar, setelah mengalami kebuntuan selama berbulan-bulan.
Kembali dilanjutkannya perundingan, yang terjadi setelah berbagai peristiwa penting, termasuk pembunuhan pemimpin Hamas Yahya Sinwar dan selesainya gelombang baru pembalasan Israel terhadap Iran, secara luas dianggap sebagai upaya terbaru untuk memutus siklus kekerasan yang telah lama melanda Timur Tengah.
Namun, para analis memperingatkan bahwa prospek perdamaian masih suram, mengingat perpecahan mendalam mengenai syarat gencatan senjata yang masih terjadi di antara Israel, Hamas, dan pemangku kepentingan regional lainnya seperti Mesir.
Peluang gencatan senjata
David Barnea, kepala badan intelijen Mossad Israel, kembali dari Doha pada Senin (28/10) setelah membahas proposal untuk kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dengan Direktur Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency/CIA) Amerika Serikat (AS) William Burns dan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani.
Menurut pernyataan dari Kantor Perdana Menteri Israel, diskusi itu berfokus pada “kerangka kerja terpadu baru yang mengintegrasikan proposal sebelumnya dan juga mempertimbangkan isu-isu utama serta perkembangan terkini di kawasan tersebut.”
Setelah perjalanan Barnea ke Doha, para mediator dan Hamas akan melanjutkan diskusi dalam beberapa hari mendatang “untuk mengevaluasi kelayakan perundingan dan upaya berkelanjutan untuk memajukan kesepakatan,” menurut pernyataan tersebut.
Perundingan gencatan senjata ini dilanjutkan setelah Israel membunuh Sinwar pada 16 Oktober lalu.
Sinwar dipandang oleh Israel sebagai arsitek utama serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan sekitar 250 orang lainnya disandera. Dia juga dicap sebagai “penghalang utama” bagi negosiasi yang produktif antara Israel dan Hamas.
Setelah kematian pemimpin Hamas tersebut, AS mendesak pemerintah Israel untuk “memanfaatkan peluang” yang diciptakan oleh kematian Sinwar untuk mengakhiri konflik.
Para analis, terutama Natan Sachs, direktur Pusat Kebijakan Timur Tengah di Brookings, mengamati bahwa kematian Sinwar “sedikit meningkatkan peluang kesepakatan gencatan senjata,” karena “perubahan kepemimpinan Hamas dapat membuka pintu bagi pihak lain untuk memimpin jalur negosiasi yang berbeda.”
Perdamaian masih sulit terwujud
Menjelang perundingan gencatan senjata di Doha, Mesir mengusulkan gencatan senjata dua hari di Gaza untuk memfasilitasi pertukaran empat sandera Israel dengan beberapa tahanan Palestina di Israel.
Merespons usulan ini, Kantor Perdana Menteri Israel pada Senin (28/10) mengatakan bahwa jika usulan tersebut diajukan, mereka akan menerimanya dengan “segera.”
Selain upaya menghidupkan kembali perundingan damai, kesediaan Israel untuk mempertimbangkan gencatan senjata singkat tampaknya menawarkan secercah harapan untuk perdamaian. Namun, operasi militer Israel di lapangan yang terus meningkat dan ketidaksepakatan yang mengakar di antara berbagai pihak mengenai persyaratan gencatan senjata mengungkapkan kenyataan pahit bahwa prospek perdamaian sejati masih sulit terwujud.
Menjelang perundingan gencatan senjata, militer Israel melancarkan serangan udara “tepat dan terarah” terhadap sejumlah target militer di Iran sebagai balasan atas serangan dari Iran dalam beberapa bulan terakhir.
Di Lebanon, puluhan orang tewas setiap hari akibat aksi militer Israel, dengan total lebih dari 2.700 warga Lebanon tewas akibat operasi ini, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon.
Di Gaza, warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang terus berlanjut telah mencapai 43.020, dengan 101.110 lainnya luka-luka, kata otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Senin.
Selain kecilnya tanda-tanda deeskalasi dalam konflik militer di berbagai front, juga tidak ada indikasi bahwa Israel dan Hamas bersedia untuk mencapai kompromi mengenai syarat-syarat gencatan senjata yang komprehensif.
Isu-isu utama, tidak terkecuali yang menyangkut apakah pasukan Israel akan menarik diri dari wilayah Palestina di penyeberangan Rafah dan Koridor Philadelphia, serta status pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, masih belum terselesaikan. Hal ini juga menjadi alasan mendasar di balik kegagalan sejumlah negosiasi sebelumnya.
“Tampaknya mereka belum siap untuk membuat konsesi apa pun… Israel telah memutuskan untuk mendorong solusi militer yang definitif,” kata Luciano Zaccara, lektor kepala di Pusat Studi Teluk di bawah Universitas Qatar, di media sosial X, mengungkapkan keraguannya tentang terobosan dalam perundingan itu.
Laporan: Redaksi