Venom ular mengandung campuran berbagai jenis protein dan peptida yang dilaporkan berpotensi memiliki aktivitas biologis berupa antikanker, agen trombolitik, antimikroba, antivirus, dan antiparasit.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Pengembangan obat kanker berbasis peptida dengan teknologi berbasis OMICs (genomics, transcriptomics, proteomics, dan metabolomics) merupakan salah satu bidang penelitian untuk mencari peptida anti kanker sebagai alternatif obat konvensional yang berbasis small molecule. Dari hasil dari teknologi ini diketahui bahwa salah satu sumber penemuan obat baru untuk peptida anti kanker yang menjanjikan adalah racun hewan seperti bisa ular (venom).
Dalam rangka penguatan riset untuk memperoleh kandidat obat baru dalam aplikasinya untuk terapi kanker, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kerja sama dengan Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRTRRB BRIN).
Data International Agency for Research on Cancer pada 2020 menyebutkan, ada 19,3 juta kasus kanker baru, dengan 10 juta kasus di antaranya berujung pada kematian, kata Dekan FMIPA UGM Kuwat Triyana, di Yogyakarta, Kamis (11/6), dikutip dari laman BRIN, Kamis.
Metode konvensional pengobatan kanker seperti pembedahan, kemoterapi, radioterapi, dan imunoterapi, menurutnya, belum memberikan hasil yang optimal karena efek samping dari terapi kanker merusak sel normal dan sistem imun.
Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk menemukan kandidat obat terapi kanker yang efektif dengan spesifisitas tinggi.
Di sisi lain, venom ular mengandung campuran berbagai jenis protein dan peptida yang dilaporkan berpotensi memiliki aktivitas biologis berupa antikanker, agen trombolitik, antimikroba, antivirus, dan antiparasit.
“Spesies ular beracun yang banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia adalah ular tanah (Calloselasma rhodostoma). Spesies ular ini termasuk ke dalam kelompok ular berbisa kuat. Pada penelitian sebelumnya, dua senyawa peptida dari venom ular tanah diketahui memiliki potensi sebagai antikanker terhadap cell line MCF-7,” terang peneliti Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN, Isti Daruwati, pada kesempatan yang sama.
Pemahaman yang mendalam tentang mekanisme farmakologis secara in vitro dan in vivo dari venom ular diperlukan untuk dapat mengarah pada penemuan calon obat kanker baru.
“Radiopeptida adalah radiofarmaka dengan peptida yang digunakan sebagai pembawa radioisotop ke lokasi kanker di mana radiopeptida akan menarget reseptor peptida yang diekspresikan secara berlebihan (over expressed) pada jaringan kanker. Reseptor-reseptor ini merupakan target molekuler potensial pada awal munculnya kanker,” paparnya.
Kerja sama riset tersebut bertujuan untuk lebih memahami interaksi dan mekanisme peptida sintesis venom ular tanah dengan protein reseptor.
Dalam riset bersama tersebut, Departemen Kimia, FMIPA UGM, akan menyiapkan peptida yang berasal dari turunan venom ular dan karakterisasinya, sedangkan PRTRRB BRIN berperan dalam radiosintesis peptida serta uji in vitro baik peptida dan radiopeptida pada sel kanker tulang yaitu MG63 dan sel tulang normal yaitu HfOb, serta sel kanker prostat yaitu LNCap dan DU145.
“Sejauh ini sudah ada 10 kandidat peptida yang cukup potensial sebagai obat antikanker dari lapangan yang kami ambil. Namun bukti aktivitas uji in vitro masih terbatas. Dari 10 kandidat, sudah kami kirim ke BRIN empat,” papar Peneliti dan Dosen Kimia FMIPA UGM Respati Tri Swasono.
Pengujian aktivitas antikanker beberapa peptida sintesis turunan venom ular tanah akan dilakukan secara in vitro dengan mengikatkan radioisotop pada peptida untuk mengetahui afinitas peptida tersebut di berbagai macam sel kanker.
Output riset tersebut diharapkan menunjukkan bahwa venom ular tanah dapat menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan. Penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui interaksi serta mekanisme aksi venom ular dengan protein reseptor.
Selain itu, peptida dan radiopeptida yang diperoleh diharapkan akan menjadi kandidat obat baru atau radiofarmaka baru untuk kanker.
Laporan: Redaksi