Pertukaran budaya di kedai teh berkembang pesat, tidak hanya menyediakan panggung untuk drama lokal tradisional, seperti Opera Sichuan dan pertunjukan wayang, tetapi juga ‘budaya baru’ seperti pemutaran film.
Chengdu, China (Xinhua) – Pada 1930-an, sebuah opera Sichuan tentang seorang budak kulit hitam dan aksi heroiknya dipentaskan di sebuah kedai teh di Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan di China barat daya. Cerita tersebut didasarkan pada novel karya Harriet Beecher Stowe tahun 1852 ‘Uncle Tom’s Cabin’.
Kisah tentang budak kulit hitam yang melawan penindasan dan memperjuangkan kebebasan ini bahkan melintasi Pasifik dan menyebar melalui jalan-jalan dan gang-gang di sebuah kota yang jauh di China, pada era yang relatif lambat dalam hal penyampaian informasi.
Pada Mei tahun ini, arsip yang berkaitan dengan kedai teh tradisional Chengdu didaftarkan sebagai warisan dokumenter dalam daftar regional Asia-Pasifik Program Memori Dunia (Memory of the World/MOW) UNESCO.
Koleksi dokumen yang mencatat operasional bisnis minum teh di Chengdu terdiri dari 6.345 item, yang berasal dari tahun 1903 hingga 1949. Materinya memiliki berbagai macam bentuk, seperti manuskrip, dokumen bisnis, dan foto.
Sebuah catatan menunjukkan bahwa pada 1909, terdapat 516 jalan dan gang di Chengdu serta 454 kedai teh. Sebuah dokumen dari ‘Kantor Polisi Ibu Kota Provinsi Sichuan’ menunjukkan bahwa terdapat 641 kedai teh di kota tersebut pada 1929.
Selain sertifikat registrasi, izin usaha, dan kontrak sewa, arsip itu juga menunjukkan beberapa inklusivitas pada kalangan pelanggan, yaitu seniman rakyat, pedagang kecil, dan pejabat konsulat asing. Ada juga materi tentang perlindungan hak dan kepentingan ketenagakerjaan wanita di kedai teh, serta larangan pelecehan terhadap wanita.
Rekaman kawat dari 1949 mengungkap kesan seorang pengunjung muda Swedia tentang sebuah kedai teh di Chengdu. “Ini ruangan yang sangat besar, dengan panjang sekitar 50 meter dan lebar 20 meter. Saya rasa ada lebih dari 400 tamu … Anda bisa potong rambut, bercukur, dan bahkan duduk di kursi dan meminta seseorang untuk membersihkan telinga Anda…,” demikian bunyinya.
Berdasarkan kebisingan latar belakang, kedai teh itu ramai dikunjungi orang, dan lalu lintas di luar sangat padat.
Pria Swedia itu bernama Goran Malmqvist, seorang sinolog sekaligus anggota Akademi Swedia. Selama tinggal di Chengdu, kedai teh tersebut seakan menawarkan sebuah jendela baginya untuk menangkap irama dialek dan mengamati kehidupan di kota itu.
Arsip menunjukkan bahwa pertukaran budaya di kedai teh berkembang pesat, tidak hanya menyediakan panggung untuk drama lokal tradisional, seperti Opera Sichuan dan pertunjukan wayang, tetapi juga ‘budaya baru’ seperti pemutaran film.
Kedai teh juga menjalankan fungsi lain, menyediakan tempat untuk negosiasi bisnis, kegiatan penting, pertukaran informasi, dan mediasi sengketa sosial. Pada 1918, konsulat Inggris dan Prancis serta delegasi bisnis menggelar pesta minum teh di sebuah kedai teh untuk merayakan kemenangan negara mereka dalam Perang Dunia I.
Seorang manajer di Arsip Chengdu mengatakan koleksi tersebut menjadi saksi perkembangan budaya teh modern dan perubahan yang telah terjadi di kota tersebut, yang mencerminkan berbagai fungsi kedai teh tua dalam hal rekreasi dan hiburan, pertukaran informasi, perdagangan komoditas, pertukaran budaya, dan sebagainya, yang berfungsi sebagai materi sejarah yang berharga untuk mempelajari perkembangan perkotaan.
Wang Di, seorang sejarawan kelahiran Chengdu, telah menulis sebuah buku tentang kedai teh Chengdu, menggunakan materi dari arsip tersebut. Dia mengatakan bahwa melalui kedai teh, orang tidak hanya dapat melihat perkembangan kota, tetapi juga kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Saat ini, Chengdu memiliki populasi lebih dari 21 juta orang, menjadikannya salah satu kota dengan dinamika ekonomi tertinggi di China barat daya. Di antara deretan gedung pencakar langit, lebih dari 20.000 kedai teh masih memberikan kenyamanan bagi setiap tamu yang berkunjung.
Laporan: Redaksi