Banner

Fokus Berita – Universitas Paramadina, INDEF bahas pemikiran pemenang hadiah Nobel Amartya Sen

Universitas Paramadina dan INDEF menyelenggarakan diskusi publik pemenang Hadiah Nobel Amartya Sen di Auditorium Nurcholis Majid, Jakarta, Selasa (7/11). Diskusi ini dihadiri Rektor Universitas Paramadina Prof. DR. Didiek J. Rachbini dan para peserta lain (Istimewa)

Amartya Sen melihat peristiwa kelaparan di Bangladesh bukan karena masyarakat tidak memiliki makanan, tetapi karena masyarakat tidak dapat mengakses makanan.

 

Jakarta (Indonesia Window) – Universitas Paramadina bekerjasama dengan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyelenggarakan diskusi publik tentang pemenang Hadiah Nobel Pemikiran Amartya Sen: Etika Berbasis Kebebasan, di Auditorium Nurcholish Madjid, Jakarta, Selasa (7/11).

Dalam keterangan tertulis yang diperoleh Indonesia Window, Deniey A. Purwanto, Ph.D, dosen IPB dan peneliti INDEF mengungkapkan bahwa penghargaan yang diberikan kepada Amartya Sen sangat banyak, baik berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial, maupun politik.

“Sen mendapatkan Hadiah Nobel karena kontribusinya pada welfare economics mengatasi permasalahan masyarakat seperti hal-hak individu, kekerasan mayoritas, dan ketersediaan informasi. Tak hanya itu, Sen banyak membahas isu mengenai kelaparan yang terjadi di India yang berkaitan dengan teori pilihan sosial,” katanya.

Teori pilihan sosial berfokus pada hubungan antara nilai individu dan pilihan kolektif, ujarnya seraya menambahkan, jika ada perbedaan pendapat, masalah yang harus dipikirkan adalah menemukan metode untuk mencari titik temu guna menyatukan pendapat yang berbeda dalam sebuah keputusan yang menjadi perhatian semua orang.

Banner

Menurut Deniey, pemikiran tentang ukuran kemiskinan baru yang dikemukakan Sen mendasari indeks kemiskinan, indeks pembangunan manusia, dan indeks kemiskinan manusia.

Konsep ‘poverty index’, sering digunakan dalam dunia akademik untuk menghitung garis kemiskinan yang dikenal dengan indeks kemiskinan Sen-Shorrocks-Thon, tambahnya.

“Sayangnya, anak perempuan dianggap sangat rentan sehingga terjadi ketidaksetaraan layanan kesehatan yang didapatkan, nutrisi buruk pada anak perempuan, dan kelalaian sosial. Hal ini terjadi di wilayah Asia khususnya Tiongkok, India, Afrika Utara, dan Asia Barat, ” ungkapnya.

Konsep tersebut, menurut dia, berkembang dan dikenal dengan konsep ‘alternative breadwinners model’, yang didasari oleh pembagian kerja di dalam rumah tangga.

Deniey mengembangkan tujuh model yang berlaku setara baik untuk suami maupun istri dalam berumah tangga. Ia memandang pendekatan kapabilitas yang berfokus pada kemampuan aktual seseorang untuk mencapai kehidupan yang dihargai.

Pembicara lainnya Dr. Sunaryo, dosen Universitas Paramadina, melihat Amartya Sen sebagai orang yang lahir dalam ilmu pendidikan, yang namanya sendiri berarti abadi.

Banner

“Sen menggeluti masalah kapabilitas karena ada konflik antara ibu dan musim. Sebenarnya permasalahan yang terjadi bukan hanya konflik dan makanan, tetapi ada permasalahan identitas dan permasalahan kapabilitas,” ungkapnya.

Amartya Sen melihat peristiwa kelaparan di Bangladesh bukan karena masyarakat tidak memiliki makanan, tetapi karena masyarakat tidak dapat mengakses makanan.

Teori kapabilitas, menurut Sunaryo, menekankan bahwa orang dapat menganggap hal tersebut bagi apa yang bernilai baginya.

“Ada tiga aspek yang penting dalam kapabilitas yaitu kemampuan untuk meraih atau mencapai sesuatu, konsep mengenai hal yang dianggap bernilai, dan rasionalitas sebagai sikap kritis. Negara yang melarang warganya berbicara itu merupakan sebuah kecacatan,” katanya.

Lebih jauh Sunaryo menjelaskan ada beberapa hal yang mempengaruhi kapabilitas, yaitu sosial-politik dan kebijakan publik, lingkungan dan alam, budaya dan hubungan dalam komunitas, serta keragaman pribadi.

Pendekatan kapabilitas sendiri memiliki keterkaitan dengan teori pilihan sosial.

Banner

Amartya Sen mendefiniskan, teori ini merupakan hubungan yang memperhatikan preferensi individu dan pilihan sosial.

Mekanisme dalam pembuatan ‘social choice’ (pilihan social) harus mendengar argumen dari berbagai orang, bukan mendengarkan dari perspektif mayoritas saja, tetapi dari minoritas juga dan hal ini dilakukan harus dengan sangat terbuka dan jangan sampai masuk pada ilusi objektif, karenanya hal ini harus melihat dari sisi lain, katanya.

Laporan: Redaksi 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan