Banner

Pakar Afghanistan: Perang lawan terorisme jadi alat AS implementasikan hegemoni

Najibullah Jami, seorang pakar politik Afghanistan sekaligus profesor di Universitas Kabul. (Xinhua/tangkapan layar)

Perang melawan terorisme menjadi slogan sekaligus alat Washington untuk menguatkan hegemoninya atas Afghanistan selama 20 tahun, namun berakhir dengan hengkangnya militer Amerika dari negara di Asia Tengah tersebut, meninggalkan kemiskinan ekstrem dan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Afghanistan.

 

Kabul, Afghanistan (Xinhua) – Perang melawan terorisme telah menjadi alat yang digunakan Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat hegemoninya, demikian disampaikan seorang cendekiawan asal Afghanistan kepada Xinhua dalam sebuah wawancara eksklusif baru-baru ini.

“Definisi terorisme AS bergantung pada kepentingan Washington. AS telah menggunakan terorisme sebagai alat untuk menginvasi dan mengalahkan negara-negara merdeka demi menjamin kepentingannya,” kata Najibullah Jami, seorang pakar politik Afghanistan sekaligus profesor di Universitas Kabul.

Setelah serangan teror di New York dan Washington pada 11 September 2001 silam, AS menuding jaringan Al-Qaida mengatur serangan mematikan tersebut dan memimpin sebuah koalisi militer untuk menginvasi Afghanistan pada Oktober 2001 guna menggulingkan pemerintah Taliban, yang diduga melindungi pemimpin jaringan teroris tersebut saat itu, Osama Bin Laden.

Pada akhir Agustus 2021, pasukan AS melakukan penarikan diri secara terburu-buru dari Afghanistan dengan kekalahan militer, meninggalkan negara yang tercabik perang itu dalam kemiskinan ekstrem dan penderitaan yang mendalam. Data publik menunjukkan bahwa lebih dari 50.000 warga sipil Afghanistan dan hampir 70.000 personel keamanan Afghanistan dilaporkan tewas dalam pendudukan AS selama dua dekade di Afghanistan.

Banner

Perang melawan terorisme

Perang melawan terorisme
Pada akhir Agustus 2021, pasukan AS melakukan penarikan diri secara terburu-buru dari Afghanistan dengan kekalahan militer, meninggalkan negara yang tercabik perang itu dalam kemiskinan ekstrem dan penderitaan yang mendalam. (Xinhua/tangkapan layar)

Jami mengatakan perang “antiterorisme” Amerika dilaporkan telah menyebabkan jumlah organisasi teroris di Afghanistan saat ini menjadi lebih dari 20.

“Amerika menginvasi Afghanistan dengan slogan-slogan untuk memerangi terorisme, memeriksa produksi dan perdagangan narkoba, serta membangun kembali negara ini, tetapi klaim-klaim itu terbukti kontraproduktif lantaran produksi dan perdagangan narkoba meningkat berlipat ganda dan negara yang dilanda perang ini juga menderita kemiskinan ekstrem,” ujar sang analis.

Sembari memberikan contoh peran destruktif dari intervensi militer Washington dengan dalih memerangi terorisme di negara-negara tertentu, pakar itu mengatakan, “Dampak dari perang AS di Afghanistan, di Irak, di Suriah dan di Libya jelas bagi semua orang.”

“Kami, rakyat Afghanistan, tidak merasakan perkembangan ekonomi yang nyata dari kehadiran militer AS atau kemakmuran ekonomi selama 20 tahun terakhir. Kami mengimpor listrik dari Tajikistan, kami tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, di Kabul kami tidak memiliki air minum yang bersih,” tutur Jami.

Banner

Perang melawan terorisme
Pendudukan militer Amerika Serikat di Afghanistan selama 20 tahun dengan dalih ‘perang melawan terorisme’ hanya menciptakan dan meninggalkan kemiskinan dan terpurukan bagi rakyat negara Asia Tengah tersebut. (Xinhua/tangkapan layar)

Menurut Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan yang dibentuk oleh Kongres AS, pendapatan per kapita tahunan negara di Asia itu turun dari 650 dolar AS pada 2012 menjadi 500 dolar AS pada 2020.

*1 dolar AS = 14.839 rupiah

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Banner

Iklan