Harga adalah hasil pertukaran antara uang dan barang.
Secara alami, harga ini ditentukan oleh penawaran dan permintaan (supply and demand). Karenanya, jika jumlah barang yang ditawarkan melimpah, sedangkan permintaannya sedikit, maka harga akan turun. Sebaliknya, jika jumlah barang yang ditawarkan sedikit, sedangkan permintaannya besar, maka harga akan naik.
Dengan demikian, harga akan mengikuti hukum pasar. Karena hukum pasar ditentukan oleh faktor penawaran dan permintaan, maka untuk menjaga stabilitas harga di pasar, faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah faktor supply and demand ini.
Keseimbangan antara supply and demand harus selalu diperhatikan oleh pemerintah guna menjaga dua faktor ini benar-benar stabil.
Hal ini juga berlaku untuk kasus penetapan harga minyak goreng.
Ketika harga minyak goreng naik, orang berpikir sederhana, agar tidak naik, maka pemerintah harus turun tangan, mematok harga. Pandangan ini jika dilihat secara sepintas terlihat benar. Padahal sebenarnya kebijakan ini mengandung bahaya yang besar.
Dengan mematok harga, harga memang bisa stabil pada waktu tertentu dengan cepat, akan tetapi cara ini justru menyebabkan terjadinya inflasi, karena diakui atau tidak, pematokan harga ini mengurangi daya beli mata uang.
Islam tentang harga
Dalam sistem ekonomi Islam, pemerintah tidak boleh mematok harga. Harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, supply and demand (penawaran dan permintaan).
Di masa Nabi ﷺ, saat harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi ﷺ meminta agar harga-harga tersebut dipatok supaya bisa terjangkau.
Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Rasulullah ﷺ, seraya bersabda, “Allah-lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.” (HR. Ahmad dari Anas).
Dengan begitu, Nabi ﷺ membiarkan harga barang mengikuti mekanisme supply and demand di pasar.
Ketika Nabi ﷺ mengembalikan harga pada mekanisme pasar, bukan berarti negara sama sekali tidak melakukan intervensi. Intervensi tidak dilakukan dengan mematok harga, melainkan pada hal-hal yang mempengaruhi kenaikan harga barang.
Jika kenaikan harga barang terjadi karena faktor supply yang kurang, sementara demand-nya besar, maka pemerintah bisa melakukan intervensi pasar dengan menambah pasokan barang agar harga barang tersebut bisa turun dan normal. Cara ini jelas tidak merusak pasar, tapi menjadikannya selalu dalam kondisi stabil.
Kurangnya pasokan bisa terjadi karena mungkin di suatu wilayah tengah mengalami krisis, kekeringan atau penyakit, yang mengakibatkan produksi barang berkurang.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah bisa memasok wilayah tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan dari wilayah lain.
Kebijakan seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ketika wilayah Syam mengalami wabah, sehingga produksinya berkurang. Kebutuhan barang di wilayah ini dipasok dari Irak.
Jika kenaikan harga barang terjadi karena pasokan yang kurang karena aksi penimbunan (ihtikar) oleh para pedagang, maka pemerintah juga harus melakukan intervensi dengan menjatuhkan sanksi kepada si pelaku dalam bentuk ta’zir, sekaligus mewajibkannya menjual barang yang ditimbunnya ke pasar. Dengan begitu, supply barang tersebut akan normal kembali.
Jika kenaikan barang tersebut terjadi bukan karena faktor supply and demand, tetapi karena penipuan harga (ghaban fakhisy) terhadap pembeli atau penjual yang sama-sama tidak mengetahui harga pasar, maka pelakunya juga bisa dikenai sanksi ta’zir, disertai dengan hak khiyar kepada korban. Korban bisa membatalkan transaksi jual-beli, atau dapat dilanjutkan.
Tingginya harga minyak goreng di pasaran ditenggarai karena tidak terintegrasinya perkebunan kelapa sawit dengan produsen minyak goreng.
Dengan luasnya perkebunan kelapa sawit di Tanah Air dan melimpahnya produksi kelapa sawit hingga mencakup 58, 3 persen dari total produksi dunia, sewajarnya masyarakat bisa membeli minyak goreng dengan mudah dan harga terjangkau.
Peran pemerintah sebagai penguasa yang berkewajiban mengatur urusan rakyat sangat diharapkan.
Membenahi kebijakan impor dan mengembalikan peran Bulog (Badan Urusan Logistik) sebagai departemen pengurus ketersediaan pangan (bukan perusahaan umum), serta mengintegrasikan semua kebijakan harus dilakukan pemerintah demi mengendalikan harga barang-barang pokok.
Penulis: Rismiyana (guru dan pemerhati sosial kemasyarakatan)