Jakarta (Indonesia Window) – Myanmar akan memulangkan sejumlah orang yang melarikan diri dari kekerasan di negara bagian Rakhine utara ke Bangladesh, kata seorang pejabat senior dari negara itu di Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat pada Sabtu (28/9).
Sekitar 900.000 pengungsi Rohingya dari Myanmar mencari perlindungan di wilayah Bazar Cox di Bangladesh tenggara setelah operasi militer diluncurkan dua tahun lalu, demikian laporan yang dikutip dari situs jejaring PBB.
Menteri Persatuan Myanmar untuk Kantor Penasihat Negara, Kyaw Tint Swe, mengatakan pemulangan akan dilakukan sesuai dengan perjanjian November 2017 dengan Bangladesh.
“Prioritas kami sekarang adalah mempercepat repatriasi dan untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi para migran yang kembali,” katanya.
Status
Swe mengatakan para pengungsi yang telah tinggal di negara bagian Rakhine “memiliki status hukum yang berbeda.”
Mereka yang memenuhi syarat untuk memperoleh kewarganegaraan akan diberikan kartu kewarganegaraan. Sisanya akan menerima Kartu Verifikasi Nasional yang disamakan dengan “kartu hijau” yang dikeluarkan untuk imigran di Amerika Serikat.
Swe mengatakan upaya pemerintah untuk membawa perdamaian dan stabilitas ke negara bagian Rakhine dilakukan “sebelum serangan kekerasan oleh kelompok teroris ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) pada 2016 dan 2017 yang memicu krisis kemanusiaan saat ini.”
Sekitar 300 orang telah kembali ke Myanmar atas kemauannya sendiri “meskipun ada hambatan, termasuk pembunuhan dan ancaman oleh ARSA,” tambahnya.
Menteri menolak permintaan untuk membangun “zona aman” di Myanmar dengan mengatakan “tidak dijamin, atau tidak bisa diterapkan.”
Dia meminta Bangladesh untuk menerapkan perjanjian bilateral, yang dia gambarkan sebagai “satu-satunya cara yang mungkin untuk menyelesaikan masalah para pengungsi.”
Investigasi militer
Mengenai pertanggungjawaban atas kejadian di negara bagian Rakhine, Swe melaporkan bahwa penyelidikan militer sedang dilakukan.
“Pengumuman baru-baru ini menunjukkan bahwa akan segera ada pengadilan militer,” imbuhnya.
Swe juga menanggapi permintaan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk mengesahkan penyelidikan atas dugaan kejahatan di Negara Bagian Rakhine.
Namun, ia mengatakan “para pihak independen telah mengidentifikasi permintaan tersebut bermasalah karena tidak termasuk dugaan kejahatan yang dilakukan oleh Bala Keselamatan Arakan Rohingya.
Kekhawatiran lain adalah bahwa Jaksa Penuntut ICC “sangat bergantung pada laporan hak asasi manusia” yang mengandung “kesalahan faktual” pada hukum nasional dan internasional.
Dalam pandangan Swe, Jaksa ICC berfokus pada arus keluar dari negara bagian Rakhine namun tetap “diam” pada apa yang disebutnya “gambaran yang lebih luas” di balik pengungsian tersebut, serta berbagai pihak yang terlibat.
Laporan: Redaksi