Safron semakin mahal di bawah ancaman perubahan iklim

Crocus sativus, bunga penghasil saffron. (Indonesia Window/tangkapan layar Business Insider)

Jakarta (Indonesia Window) – Safron (saffron) merupakan rempah termahal di dunia yang diyakini menjadi obat herbal untuk berbagai macam penyakit, seperti Alzheimer, gangguan pencernaan, pernapasan dan reproduksi, serta sebagai antioksidan.

Di Indonesia, harga satu gram safron bisa mencapai lebih dari 250.000 rupiah, sedangkan di pasar global satu kilogram rempah ini dibandrol 10.000 dolar AS (sekira 145.325.000 rupiah).

Harga ini sama sekali tak mengejutkan jika kita paham bagaimana para petani mengelola lahan mereka untuk menanam serta memanen Crocus sativus — yang darinya safron dihasilkan — dan melepas ujung putik bunga ungu tersebut hingga memperoleh safron berkualitas tinggi.

Safron sesungguhnya merupakan putik (stigma) dari Crocus sativus yang hanya tediri atas tiga helai.

Stigma satu kuntum bunga mempunyai berat 0,006 gram, sehingga untuk memperoleh satu gram safron diperlukan 150 kuntum bunga. Sementara satu kilogram safron setara dengan 450.000 helai stigma atau sekitar 150.000 – 170.000 kuntum Crocus sativus.

Semakin banyak kuntum yang dibutuhkan untuk mendapatkan safron, maka semakin luas lahan pertanian yang diperlukan. Lahan sekitar 4.000 meter persegi ‘hanya’ dapat menghasilkan 1,8 kilogram saffron.

Struktur stigma sangat rapuh dan setiap helainya berharga, sehingga untuk melepasnya dari kuntum digunakan tenaga manusia agar tidak rusak.

Karena segalanya dikerjakan dengan tangan, dibutuhkan 40 jam untuk menghasilkan satu kilogram saffron berkualitas terbaik.

Ancaman

Permintaan tinggi dan nilai bisnis yang menggiurkan mendorong sejumlah negara, seperti, Iran, Afghanistan, Italia, Spanyol, Belanda, India, bahkan Amerika Serikat untuk memproduksi safron.

Sebanyak 90 persen safron global diproduksi oleh Iran, namun Kashmir yang berada di bagian paling barat Pegunungan Himalaya adalah asal safron terbaik di dunia.

Ashiq Rashid, seorang petani safron di Kahsmir mengatakan lahan di daerah tersebut secara alamiah sudah subur dan cocok untuk ditanami Crocus sativus.

“Tanah pertanian di tempat lain membutuhkan pemupukan. Di Kashmir lahan sudah subur secara alami dan ini adalah anugerah dari Allah (ﷻ),” tuturnya kepada Business Insider.

Bunga penghasil safron dapat dipanen selama enam pekan mulai akhir September hingga awal Desember.

Untuk memperoleh safron terbaik, Crocus sativus harus dipetik dengan tangan pada pagi hari sebelum matahari beranjak tinggi karena sinar ultraviolet akan merusak struktur kimia bunga.

Kondisi iklim juga harus diperhatikan sebelum memanen.

Menurut ahli safron, David Smale, semakin tinggi curah hujan sebelum panen, maka semakin besar Crocus sativus, dan begitu juga sebaliknya.

“Curah hujan, temperatur dan tanah juga mempengaruhi rasa safron,” jelas dia.

Namun demikian, perubahan iklim telah sangat mempengaruhi lahan pertanian safron di Kashmir.

“Hanya ada sedikit hujan selama 4-5 tahun terakhir ini. Temperatur dan iklim di Kashmir telah berubah,” tutur Sajad Rafeeq seorang petani safron.

Bahkan banyak petani setempat yang terpaksa menjual tanah mereka dan akhirnya menjadi perumahan dan bangunan lainnya.

“Dulu saya bisa menghabiskan dua hari untuk memetik safron. Sekarang hanya setengah jam,” kata Sajad, seraya menambahkan bahwa dirinya sangat terpukul dengan kondisi tersebut karena safron adalah identitas budaya Kashmir.

Produksi safron di Kashmir menurun hingga 70 persen selama 2017-2018 dari 16,5 metrik ton menjadi 5,2 metrik ton.

Safron terbaik di dunia
Para petani saffron di Kahsmir melepas stigma (ujung putik) Crocus sativus dengan tangan untuk menghasilkan saffron terbaik. (Indonesia Window/ tangkapan layar Business Insider)

Palsu

Manfaat safron yang terkenal telah meningkatkan permintaan rempah ini hingga 200 metrik ton dihasilkan per tahun di seluruh dunia. Jumlah ini setara dengan 30 miliar kuntum Crocus sativus.

Sayangnya, muncul safron palsu yang dibuat dari rambut jagung, serat kelapa hingga rambut kuda yang diwarnai dengan pewarna sintesis.

Sebuah kasus pemalsuan safron terungkap pada 2019 yang dikenal dengan Sussex saffron.

Setelah dua tahun penyelidikan diketahui bahwa penipuan tersebut telah merugikan masyarakat senilai 750.000 pound sterling (sekira 13,6 miliar rupiah).

Kasus pemalsuan lainnya melibatkan Spanyol yang mengklaim produksi safron hingga 190.000 kilogram senilai 50 juta dolar AS (sekitar 726,6 miliar rupiah). Padahal produksi nasionalnya dilaporkan hanya 1.500 kilogram. Artinya, 90 persen safron asal negeri para matador itu palsu.

Rumitnya menanam Crocus sativus dan mengolahnya untuk menghasilkan safron terbaik, ditambah perubahan iklim yang mengancam pertanian rempah ini membuat harga yang menjulang itu menjadi sangat wajar.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan