Banner

Jakarta (Indonesia Window) – Aktivitas manufaktur Asia meningkat pada Oktober ketika negara-negara berkembang melihat infeksi COVID-19 mulai berkurang. Namun, kenaikan biaya input, kekurangan bahan baku dan perlambatan pertumbuhan China mengaburkan prospek, menurut hasil sejumlah survei bisnis pada Senin.

Pembuat kebijakan di kawasan menghadapi tekanan di berbagai bidang saat mereka mengarahkan ekonomi mereka keluar dari kelesuan yang disebabkan oleh pandemik, sambil juga berusaha menjaga harga-harga tetap terkendali di tengah meningkatnya biaya komoditas dan kekurangan suku cadang.

Aktivitas pabrik China berkembang pada laju tercepatnya dalam empat bulan pada Oktober menyusul berkurangnya kasus COVID-19 sehingga mendorong permintaan domestik, menurut Purchasing Manager Index (PMI) atau Indeks Manajer Pembelian Manufaktur Caixin/Markit pada Senin.

Namun, sub-indeks untuk output menunjukkan produksi menyusut untuk bulan ketiga berturut-turut karena kekurangan listrik dan kenaikan biaya-biaya. Hal ini sejalan dengan PMI resmi pada Ahad (31/10) yang menunjukkan aktivitas pabrik pada Oktober menyusut lebih besar dari yang diperkirakan.

“Kekurangan bahan baku dan melonjaknya harga-harga komoditas, dikombinasikan dengan masalah pasokan listrik, menciptakan kendala yang kuat bagi produsen dan mengganggu rantai pasokan,” kata Wang Zhe, ekonom senior di Caixin Insight Group.

Aktivitas pabrik pada Oktober meningkat di Vietnam, Indonesia dan Malaysia karena operasi secara bertahap menjadi normal setelah terkena penutupan yang disebabkan oleh lonjakan infeksi COVID-19.

Selain itu, Taiwan juga mengalami pertumbuhan aktivitas manufaktur yang meningkat karena permintaan chip yang kuat, sementara aktivitas pabrik Jepang berkembang pada laju tercepat dalam enam bulan pada Oktober sebagai tanda yang menggembirakan bagi ekonomi terbesar ketiga di dunia itu.

Namun, sebagai tanda pemulihan Asia yang tidak merata, aktivitas pabrik Korea Selatan naik di laju paling lambat dalam 13 bulan pada Oktober karena produksi menyusut dan permintaan lebih lemah.

Kekurangan bahan baku dan gangguan pengiriman mendorong harga input Jepang paling tinggi dalam lebih dari 13 tahun.

“Sementara PMI Manufaktur Oktober menunjukkan kenaikan yang kuat dalam output manufaktur, industri kemungkinan akan bekerja melewati backlog pesanan yang sangat besar selama beberapa bulan mendatang dan mengakibatkan kekurangan pasokan lebih jauh akan tetap ada,” kata Alex Holmes, ekonom negara berkembang Asia di Capital Economics.

PMI final Jibun Bank Japan untuk Oktober naik menjadi 53,2 dari 51,5 di bulan sebelumnya, meningkat untuk kesembilan bulan berturut-turut.

PMI Korea Selatan, sebaliknya, turun menjadi 50,2 pada Oktober dari 52,4 pada September, meskipun berhasil bertahan di atas ambang batas 50 yang mengindikasikan ekspansi dalam aktivitas, selama 13 bulan berturut-turut.

PMI Vietnam naik menjadi 52,1 dari 40,2 pada September, sedangkan Indonesia meningkat menjadi 57,2 dari 52,2, menurut survei. Sementara Indeks Malaysia berdiri di 52,2, naik dari 48,1.

Negara-negara berkembang Asia telah tertinggal dari ekonomi maju dalam pemulihan dari penderitaan pandemik karena penundaan peluncuran vaksin dan lonjakan kasus varian Delta yang merugikan konsumsi dan produksi pabrik.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan