Mahkamah Agung Israel telah memutuskan bahwa pemerintah harus mengikutsertakan pria Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam wajib militer, sebuah keputusan yang mengancam kestabilan pemerintahan koalisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di tengah perang yang sedang berkecamuk di Gaza.
Yerusalem (Xinhua) – Mahkamah Agung Israel pada Selasa (25/6) memutuskan bahwa pemerintah harus mengikutsertakan pria Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam wajib militer, sebuah keputusan yang mengancam kestabilan pemerintahan koalisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di tengah perang yang sedang berkecamuk di Gaza.
Dalam sebuah putusan dengan suara bulat, para hakim menyimpulkan bahwa “tidak ada dasar hukum” terkait pembebasan wajib militer yang telah lama diberikan kepada para siswa seminari Yahudi ultra-Ortodoks, dan bahwa undang-undang wajib militer negara itu juga harus diterapkan kepada kaum pria Yahudi ultra-Ortodoks.
Mengacu pada perang Israel di Gaza yang telah berlangsung hampir sembilan bulan, lembaga peradilan itu menyampaikan bahwa “pada puncak masa perang yang sulit, beban ketidaksetaraan menjadi makin parah dari sebelumnya.”
Sebagian besar pria dan wanita Yahudi Israel diharuskan untuk menjalani wajib militer, sementara siswa Yahudi ultra-Ortodoks umumnya telah dibebaskan dari kewajiban itu selama puluhan tahun. Pengecualian yang telah berlangsung lama itu menjadi sumber amarah dan kontroversi yang terus berkembang, terutama sejak dimulainya perang yang telah menewaskan lebih dari 660 prajurit Israel.
Partai-partai Yahudi ultra-Ortodoks, mitra utama dalam koalisi kanan-jauh di pemerintahan Netanyahu, sangat menentang segala perubahan terkait pembebasan wajib militer itu. Mereka mengancam akan meninggalkan koalisi jika pengecualian tersebut dicabut, yang berpotensi menyebabkan dibubarkannya pemerintahan dan memicu pemilihan umum baru.
Laporan: Redaksi