Konflik Israel-Hamas yang berlangsung saat ini tidak hanya membangkitkan kembali kenangan menyakitkan di antara para penyintas Nakba, tetapi juga membuat mereka menderita akibat belutan lingkaran malapetaka permusuhan dan ketegangan.
Gaza, Palestina (Xinhua) – Ferial Abdel Hadi (86), seorang wanita penyintas konflik di Gaza yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, sekali lagi mendapati dirinya menginjakkan kaki di kamp pengungsian, kali ini di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan.
Dengan suara lirih, dia bercerita kepada Xinhua bagaimana keluarganya telah meninggalkan rumah untuk melarikan diri dari tragedi yang mungkin akan menimpa mereka.
Penderitaan warga sipil yang semakin meluas mulai terpampang di hadapannya, yang merupakan saksi hidup perang Arab-Israel pada 1948, setelah Israel melancarkan pengeboman tanpa henti di Jalur Gaza pascaserangan Hamas ke sejumlah kota dan pos militer Israel pada 7 Oktober lalu.
Israel juga memberlakukan pengepungan total di daerah kantong Palestina itu, memutus pasokan air, listrik, dan barang-barang penting lainnya, sambil mempersiapkan serangan darat.
“Pesawat-pesawat Israel menghancurkan rumah kami di Beit Lahia … orang-orang kami harus mengungsi dan tidur di tempat terbuka,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kami terpaksa datang ke sini demi menghindari tragedi pembunuhan yang bisa menimpa kami,” katanya.
Situasi tersebut membuat Hadi teringat kembali momen-momen mengerikan 75 tahun silam, ketika dia dan keluarganya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka, Tal al-Tormos.
Pada 1948, Perang Arab-Israel, yang dipandang oleh banyak warga Palestina sebagai malapetaka nasional, atau ‘Nakba’, mengakibatkan pengungsian massal dan perampasan terhadap warga Palestina.
“Berulang kali, Gaza mengalami kejadian tragis seperti ini, karena semua upaya yang dilakukan tidak terlalu membantu untuk mengakhiri perang Israel, ataupun untuk menemukan solusi nyata bagi masalah kami,” katanya.
“Israel selalu memaksa kami untuk hidup dalam kondisi yang buruk dan pengungsian yang sama,” ujar putra Hadi, Mohammed Abdul Hadi, yang mengalami hampir setiap konflik antara Israel dan Palestina sejak 2008.
Mohammed, yang kini menjadi seorang ayah dari delapan anak, mengatakan bahwa konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas yang menguasai Gaza tidak hanya membangkitkan kembali kenangan menyakitkan di antara para penyintas Nakba, tetapi juga membuatnya sedih atas apa yang tampaknya merupakan lingkaran malapetaka permusuhan dan ketegangan.
“Orang-orang di sini merasa putus asa dan terasingkan di bawah pengeboman Israel yang terus menerus dan kekurangan roti, air minum, serta listrik,” kata Mohammed Al-Dahdouh, yang mengungsi ke sebuah kamp penampungan bersama 12 anggota keluarganya setelah serangan udara Israel memaksa mereka meninggalkan rumah.
Mohammed menuduh pemerintahan Amerika Serikat (AS) dan sekutu Baratnya, yang telah memberikan dukungan moril dan materiel kepada Israel untuk melawan Hamas yang menguasai Gaza, berada di balik serangkaian tindakan tanpa pandang bulu yang membuat warga sipil Gaza menanggung sebagian besar akibatnya itu.
Hamas pada 7 Oktober lalu melancarkan serangan mendadak ke Israel, menewaskan lebih dari 1.400 orang dan menyandera sejumlah orang ke Gaza. Sebagai balasan, Israel melancarkan apa yang tampaknya merupakan kampanye militer paling intens di Gaza dalam beberapa tahun terakhir dengan pengeboman besar-besaran, dan bersiap untuk melakukan serangan darat secara masif guna menghancurkan Hamas dan faksi-faksi bersenjata lainnya di daerah kantong Palestina tersebut.
Sepekan lalu, tentara Israel memerintahkan lebih dari 1 juta orang, sekitar setengah dari populasi daerah kantong tersebut, untuk meninggalkan Gaza City dan wilayah utara lainnya dalam waktu 24 jam. Sejak saat itu, banyak warga sipil mengungsi ke arah selatan dan berlindung di kamp-kamp yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sejauh ini, sekitar 1,6 juta orang, atau lebih dari 60 persen populasi di Jalur Gaza, telah mengungsi akibat serangan Israel yang sedang berlangsung, menurut penilaian terbaru dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA) PBB.
Terlepas dari ancaman dan tantangan yang ada, banyak warga Palestina tetap bertekad untuk tidak tersingkirkan lagi. Mohammed Abu Ruzq, seorang penduduk di sebuah kamp yang berpopulasi padat di Rafah, mengungkapkan perlawanannya yang tak tergoyahkan.
“Mereka ingin membunuh kami, menghancurkan rumah kami, dan membuat kami kelaparan, tetapi kami tidak akan menuruti keinginan mereka,” ujarnya.
Laporan: Redaksi