Jakarta (Indonesia Window) – Banjir di sejumlah daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal 2020 yang telah menelan korban sedikitnya 67 orang meninggal adalah takdir Allah ﷻ.
Tak elok rasanya jika musibah tersebut dijadikan bahan olok-olok para pemimpin yang sesungguhnya telah bekerja keras melayani masyarakatnya, terutama saat banjir itu menyapu rumah dan harta benda mereka. Bahkan, menjadi wasilah meninggalnya sanak keluarga.
Banjir yang melanda Jabodetabek itu harusnya memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa penanganan peristiwa tersebut memerlukan pendekatan multi dimensi yang mencakup aspek hidrologi air dan ekologi manusia.
“Kemungkinan dan potensi-potensi bencana harus kita mitigasi. Musim hujan masih panjang. Kajian-kajian LIPI dapat digunakan untuk upaya mitigasi, sehingga kerugian dan korban yang ditimbulkan dapat diminalisir,” ujar Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, baru-baru ini seperti dikutip dari situs jejaring LIPI.
Menurut peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, M. Fakhrudin, ada beberapa faktor yang mempengaruhi banjir, yakni curah hujan, tutupan lahan, dan sistem drainase.
“Sebanyak 30 sampai 40 persen wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan air laut, dan persentasenya terus bertambah,” jelasnya.
Fakhrudin menjelaskan, sistem drainase di Jakarta masih mengandalkan pompa.
“Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct run-off akan cenderung terus meningkat,” ujarnya.
Terkait penyebab banjir awal tahun 2020 ini, Fakhrudin menjelaskan bahwa hujan memang menjadi faktor utama banjir di hilir. Sedangkan aliran sungai di hulu meningkatkan besaran dan lamanya banjir.
“Hujan ekstrem di hilir merupakan faktor utama terjadinya banjir di Jakarta kali ini, jadi bukan lagi salah kiriman air dari Bogor,” kata Fakhrudin.
Menurut data BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), pada 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, wilayah Jabodetabek mengalami hujan sedang hingga ekstrem.
“Curah hujan harian tertinggi tercatat di daerah Halim Perdanakusuma dengan jumlah 377 mm/hari, disusul daerah Depok yang mencapai 92 mm/hari,” jelasnya.
Fakhrudin memaparkan bahwa kecenderungan hujan deras meningkat di Jabodetabek setiap tahun akibat krisis iklim.
“Hujan ekstrem ini seharusnya menjadi acuan dalam membangun drainase air hujan,” tuturnya.
Laporan: Redaksi