Kini ummat Islam, khususnya para jurnalis Muslim harus benar-benar menyadari bahwa mereka pun dapat memanfaatkan media massa di era digital ini untuk menghadapi propaganda anti-Islam.
Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai jurnalis, mereka idealnya harus senantiasa berupaya meneladani sifat-sifat kenabian, yakni shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tablegh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas).
Para jurnalis Muslim tidak harus bekerja di lembaga pers yang jelas-jelas merupakan media Islam. Mereka dapat bekerja di lembaga pers manapun dengan tetap memegang teguh idealisme dan membawa nilai-nilai Islam dalam setiap karya jurnalistiknya, baik secara langsung (tersurat) maupun tidak langsung (tersirat).
Selain itu gerakan dakwah meng-counter Islamophobia dapat dilakukan melalui penulisan buku oleh para cendekiawan Muslim yang mengulas tentang potensi ajaran Islam untuk menyelesaikan problema manusia, sekaligus menjawab isu-isu miring tentang Islam.
Meski sebagian agenda dalam meng-counter propaganda anti Islam sudah dilakukan, upaya itu masih dirasakan belum cukup terkait sangat gencarnya propaganda luas Barat yang menyuarakan anti-Islam atau kebencian terhadap Islam.
Dalam hubungan ini, kendala utama media Islam adalah belum adanya koordinasi yang baik antar-media, sementara media-media massa di Barat bergerak secara kompak menyudutkan Islam.
Sebagai contoh, tidak lama setelah sebuah koran di Denmark mempublikasikan karikatur penistaan terhadap Rasulullah Muhammad ﷺ, koran-koran Barat lainnya melakukan hal yang sama.
Kendala lain yang dihadapi media-media Islam adalah kurang adanya sensitivitas dalam mendakwahkan Islam, padahal konsumen mereka adalah umat Islam sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang dianutnya.
Tetapi, bagaimanapun, media massa Islam dan para jurnalis Muslim di berbagai negara, termasuk di Indonesia sejatinya mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam menghadapi propaganda anti-Islam yang digembar-gemborkan media massa Barat.
Lebih dari itu, pada era digital ini, bukan hanya jurnalis Muslim, kalangan Islam berpendidikan tinggi pun dapat mempengaruhi opini dunia dengan menyiarkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara terus menerus atau berkesinambungan.
Langkah strategis itu bisa dilakukan secara bersama-sama dengan memanfaatkan secara optimal semua saluran media massa dan media sosial di era digital ini. Dengan begitu Insya Allah umat Islam akan sanggup menghadapi ghazwul fikri (perang pemikiran) dengan Dunia Barat.
Dalam hubungan ini, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kini menjadi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada beberapa kesempatan mengemukakan, gerakan dakwah, termasuk melalui media massa harus dilakukan secara profesional dengan terus mengedepankan apa yang disebut Islam Wasathiyah (Islam moderat).
Islam Wasathiyah adalah keislaman jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tadhabbur).
Maka, media Islam dan wartawan Muslim saat ini dituntut supaya pandai berinovasi dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah wartawan profesional yang mampu mengikuti perkembangan zaman serta senantiasa mewarnai kiprah kesehariannya dengan nilai-nilai Islam Wasathiyah.
Penulis: Aat Surya Safaat [wartawan senior/Wakil Sekretaris Komisi Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI); penasihat Forum Akademisi Indonesia (FAI); Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York Amerika Serikat (1993-1998)].