Banner

Kisah – Mahasiswa Indonesia dalami kungfu di kamp pelatihan seni bela diri di Shanxi, China

Foto yang diabadikan pada 12 Oktober 2024 ini menunjukkan mahasiswa Indonesia Raihan Ghulam Nafi Ahdar berlatih seni bela diri China di sebuah gelanggang olahraga di kampus Universitas Kedokteran Shanxi. (Xinhua)

Kamp Pelatihan Seni Bela Diri untuk Mahasiswa Internasional China (Martial Arts Training Camp for International Students in China) 2024 digelar di Kampus Zhongdu Universitas Kedokteran Shanxi yang berlokasi di Distrik Yuci, Kota Jinzhong, Provinsi Shanxi.

 

Taiyuan, China (Xinhua/Indonesia Window) – Mulai 12 hingga 18 Oktober 2024, Kamp Pelatihan Seni Bela Diri untuk Mahasiswa Internasional China (Martial Arts Training Camp for International Students in China) 2024 digelar di Kampus Zhongdu Universitas Kedokteran Shanxi yang berlokasi di Distrik Yuci, Kota Jinzhong, Provinsi Shanxi. Kamp itu menarik lebih dari seratus mahasiswa internasional, termasuk 13 mahasiswa asal Indonesia.

Amalia Rindra Maharani, mahasiswi asal Indonesia yang sedang menjalani tahun kelima di Universitas Kedokteran Shanxi, sempat menjadi atlet taekwondo tingkat provinsi. Setelah datang ke China untuk menuntut ilmu, dia terpukau dengan keindahan pemandangan alam di Shanxi dan berinisiatif untuk mendatangi sejumlah objek wisata seperti Ngarai Baquan dan Gunung Yunqiu usai melakukan riset di media sosial. Saat ditanya apakah dia berani bepergian sendiri karena keterampilannya dalam taekwondo, dia menjawab, “Selain itu, China juga sangat aman.”

“Saya tertarik untuk berpartisipasi dalam kamp pelatihan seni bela diri ini karena saya yakin seni bela diri tidak hanya fokus pada kekuatan fisik, tetapi juga menekankan konsentrasi mental, yang memunculkan minat kuat saya,” ujarnya. Dia yakin mempelajari seni bela diri di China merupakan kesempatan besar untuk memperkaya dan mengembangkan diri.

Saat ditanya perihal perbedaan antara taekwondo dan seni bela diri China, Amalia menuturkan bahwa taekwondo mengutamakan penggunaan kekuatan kaki untuk menendang, sementara seni bela diri China menuntut penggunaan tangan dan kaki, yang melibatkan seluruh tubuh.

Banner

Fidelia Kartajaya, mahasiswi asal Indonesia yang sedang menempuh tahun ketiga di Universitas Kedokteran Shanxi, memiliki darah Tionghoa dan telah mempelajari bahasa Mandarin sejak kecil. Dia merasakan ikatan dan kecintaan yang kuat terhadap China. “Saya sudah terbiasa dengan budaya China, dan keluarga saya masih menjalankan praktik-praktik tradisional seperti merayakan Festival Musim Semi, mengadakan makan malam reuni, dan membagikan angpao,” urainya.

Sebelumnya, Fidelia mempelajari kungfu China dari film, dan kini dia akhirnya berkesempatan untuk menjajalnya langsung. Dia percaya bahwa mempelajari seni bela diri merupakan proses pengembangan diri, karena melakukan setiap gerakan dapat meningkatkan kebugaran fisik dan menempa tekad seseorang. Usai berlatih selama beberapa hari, dia akhirnya menguasai serangkaian gerakan kompleks.

“Lewat latihan, saya memperdalam pemahaman saya soal filosofi di balik seni bela diri. Hal itu tidak hanya melepaskan kekuatan eksternal, tetapi juga menunjukkan kekuatan spiritual yang tenang dan terpusat,” ujar Fidelia.

Raihan Ghulam Nafi Ahdar, yang juga berasal dari Indonesia, bercita-cita menjadi dokter sejak kecil. Dia datang ke China untuk mengejar impiannya sebagai dokter. Terinspirasi oleh ayahnya, yang gemar menonton film-film kungfu, Raihan mempelajari seni bela diri Indonesia dari lingkungannya sejak kecil. Dia sangat senang dapat memiliki kesempatan untuk menjajal seni bela diri China di kamp pelatihan itu. “Saya sangat menyukai seni bela diri. Ini tidak hanya keahlian bertarung, tetapi juga filosofi. Jika memungkinkan, saya ingin mempelajari karate dan taekwondo. Impian saya adalah untuk mempelajari seni bela diri dari seluruh dunia,” tuturnya sambil tersenyum.

“Lewat acara itu, mahasiswa internasional tidak hanya bisa menjajal teknik seni bela diri, tetapi juga memanfaatkan seni bela diri sebagai wadah untuk lebih memahami budaya tradisional China. Dari kerendahan hati dan rasa hormat dalam salam kepalan tangan hingga kombinasi kekuatan dan kelembutan pada setiap gerakan, mereka merasakan betapa dalamnya budaya China,” tutur Li Yanxin, pengajar di Fakultas Pendidikan Internasional Universitas Kedokteran Shanxi.

Kamp pelatihan itu diadakan oleh Pusat Manajemen Olahraga Seni Bela Diri Administrasi Umum Olahraga China dan Asosiasi Wushu China, dengan Universitas Kedokteran Shanxi sebagai institusi penyelenggara.

Banner

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan