Indonesia rekomendasikan 7 agenda Bali untuk ketahanan berkelanjutan

Presiden RI Joko Widodo membuka Forum Global Pengurangan Risiko Bencana Ketujuh atau the 7th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 di Badung, Bali pada Rabu (25/5/2022). (Sekretariat Kabinet RI)

Jakarta (Indonesia Window) – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto menyampaikan tujuh rekomendasi Agenda Bali untuk ketahan berkelanjutan saat penutupan pertemuan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7, Jumat (27/5), di Bali.

Pertama, pengurangan risiko bencana perlu diintegrasikan dengan kebijakan-kebijakan utama pembangunan dan pembiayaan, legislasi, dan rencana pencapaian Agenda 2030, demikian keterangan resmi dari Sekretariat Kabinet Indonesia yang diterima di Jakarta, Senin.

Suharyanto mengatakan, GPDRR menyerukan transformasi mekanisme tata kelola risiko untuk memastikan pengelolaan risiko merupakan tanggung jawab bersama lintas sektor, sistem, skala, dan batas.

“Sejumlah contoh menunjukkan bahwa bekerja secara horizontal dan vertikal dapat membantu pemerintah untuk memecahkan masalah kesenjangan kelembagaan dan ego sektoral,” ujarnya.

Kedua, perubahan sistemik masyarakat dunia untuk memperhitungkan kerugian yang sesungguhnya dari bencana, dan kerugian dari ketiadaan aksi, serta membandingkannya dengan investasi dalam pengurangan risiko bencana.

“Contoh baik dari komitmen politik yang ditunjukkan dalam bentuk target anggaran yang disahkan dan mekanisme pelacakan untuk pengurangan risiko bencana bermunculan, yang harus dipromosikan dan direplikasi,” katanya.

Lebih lanjut, Suharyanto menyampaikan, strategi pembiayaan pengurangan risiko bencana dapat mengarahkan dan memprioritaskan investasi dan harus dimasukkan dalam kerangka pembiayaan nasional yang terintegrasi.

Ketiga, GPDRR yang diselenggarakan di antara Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP 26 dan COP 27 mencermati tingkat emisi saat ini jauh melebihi upaya mitigasinya. Hal ini mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian bencana, dan mengancam pencapaian Agenda 2030.

“Platform Global meminta para pemerintah untuk menghormati komitmen yang dibuat di Glasgow untuk secara drastis meningkatkan pembiayaan dan dukungan untuk adaptasi dan ketahanan,” kata Kepala BNPB.

Suharyanto juga mengatakan, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pengurangan risiko bencana sebagai bagian dari solusi dalam mengatasi keadaan darurat iklim, seraya meningkatkan dan mencapai ambisi iklim.

Keempat, bencana memberikan dampak berbeda kepada setiap orang, katanya, seraya menambahkan, ini menyerukan pendekatan partisipatif dan berbasis hak asasi manusia (HAM) untuk memasukkan semua sesuai prinsip “tidak ada apa-apa tentang kita tanpa kita” dalam perencanaan pengurangan risiko bencana dan implementasinya pada masyarakat yang berisiko.

Suharyanto menjelaskan, investasi pada generasi muda dan profesional muda harus ditingkatkan untuk merangsang inovasi dan solusi kreatif.

“Harus ada komitmen ulang terhadap keterlibatan masyarakat, dan pengurangan risiko bencana yang digerakkan oleh masyarakat, serta mendukung struktur lokal yang ada dan membangun ketahanan,” ujarnya.

Kelima, Platform Global memberikan rekomendasi yang dapat mendukung pelaksanaan seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan setiap orang di muka bumi dilindungi oleh sistem peringatan dini dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Respons terhadap seruan tersebut harus mempertimbangkan rantai nilai peringatan dini yang berpusat pada masyarakat secara menyeluruh dari ujung ke ujung, mulai dari penilaian risiko hingga infrastruktur dan menjangkau tujuan akhir.

“Pengembangan sistem peringatan dini multibahaya harus melibatkan masyarakat yang paling berisiko dengan kapasitas kelembagaan, keuangan dan sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan aksi berdasarkan peringatan dini,” ujar Suharyanto.

Ketersediaan dan kualitas data yang lebih baik, sumber daya keuangan, tata kelola yang efektif dan mekanisme koordinasi yang lebih baik antara para pemangku kepentingan akan memperkuat sistem peringatan dini multibahaya, khususnya di negara-negara tertinggal (LDC), negara berkembang pulau kecil (SIDS), dan Afrika.

Keenam, potensi pembelajaran transformatif dari pandemik COVID-19 harus diterapkan sebelum jendela peluang tersebut tertutup.

“Pendekatan saat ini untuk pemulihan dan rekonstruksi tidak cukup efektif, baik dalam melindungi hasil pembangunan maupun dalam membangun kembali dengan lebih baik, lebih hijau, dan lebih adil,” tegasnya.

Suharyanto mengatakan, ada kebutuhan untuk mendorong sistem manajemen risiko bencana yang adaptif dan responsif dengan kolaborasi multipemangku kepentingan disertai dengan empati, solidaritas, kerja sama, dan semangat kesukarelaan khususnya untuk mengatasi ketidakadilan.

Terakhir, pelaporan yang komprehensif dan sistematis, termasuk tinjauan kemajuan yang mendalam terhadap semua target Kerangka Sendai oleh negara-negara anggota akan membantu menarik rekomendasi yang jelas untuk tinjauan tengah semester (midterm review).

“Platform Global menyerukan kepada semua negara anggota, organisasi regional, dan pemangku kepentingan untuk terlibat dalam midterm review Kerangka Sendai ini guna memahami dengan jelas tantangan dan hambatan implementasi dan mempercepat upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan pada tahun 2030,” pungkasnya.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan