Banner

Komentar Xinhua: Demokrasi jadi alat AS untuk pertahankan hegemoni, picu perpecahan

Para pengunjuk rasa berkumpul dalam aksi demonstrasi antiperang di Washington DC, Amerika Serikat, pada 18 Maret 2023. (Xinhua/Liu Jie)

Demokrasi alat Amerika Serikat untuk mempertahankan hegemoni dan memicu perpecahan, bahkan kebanggaan masyarakat AS terhadap demokrasi mereka telah merosot drastis, dari 90 persen pada 2002 menjadi 54 persen pada 2022.

 

Beijing, China (Xinhua) – Terlepas dari berbagai retorika atau manipulasi yang terdengar elok, semakin jelas bahwa demokrasi telah menjadi alat bagi Amerika Serikat (AS) untuk mempertahankan hegemoni dan memicu perpecahan.

Pada 2022, pretensi demokratis, politik disfungsional, dan masyarakat yang terpecah belah terus berlanjut di AS. Masalah-masalah seperti politik uang, politik identitas, perpecahan sosial, dan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin kian memburuk, menurut sebuah laporan bertajuk ‘The State of Democracy in the United States: 2022’.

Bahkan dengan masalah dalam negeri yang terus bertambah, AS terus bertindak dengan gaya superioritas, menyudutkan pihak lain, dan mengambil peran sebagai “penceramah demokrasi” demi melayani kepentingannya sendiri, papar laporan tersebut, yang dirilis di situs jejaring Kementerian Luar Negeri China pada Senin (20/3).

Namun, seorang ‘penceramah’ yang menyebarkan model demokrasi yang sangat bermasalah ke seluruh dunia justru lebih menyerupai sosok ‘penyebar racun’ ketimbang seorang mitra.

Banner

Faktanya, demokrasi AS hanyalah sekadar nama. Sebagai contoh, kebebasan berbicara di AS dijunjung tinggi menurut ‘standar AS’ yang berpusat pada pihaknya sendiri. Kepentingan partisan dan politik uang telah menjadi ‘dua gunung besar’ yang menghambat kebebasan berbicara.

Masyarakat AS semakin kecewa dengan demokrasi negaranya sendiri. Kebanggaan masyarakat AS terhadap demokrasi mereka telah merosot drastis, dari 90 persen pada 2002 menjadi 54 persen pada 2022, menurut sebuah survei gabungan Washington Post-Universitas Maryland.

Guna mempertahankan hegemoninya, AS telah lama memonopoli definisi ‘demokrasi’ serta memicu perpecahan dan konfrontasi atas nama demokrasi. Penyelenggaraan ‘Konferensi Tingkat Tinggi untuk Demokrasi’ yang konyol merupakan salah satu contohnya.

Di balik narasi demokrasi AS, terdapat mentalitas Perang Dingin, logika hegemoni, dan preferensi terhadap politik berbasis kelompok. Apa yang disebut sebagai demokrasi oleh AS telah menimbulkan ketidakstabilan dan kekacauan di seluruh dunia, yang merugikan masyarakat di sejumlah negara.

Demokrasi merupakan nilai dasar kemanusiaan dan tidak boleh dimanfaatkan sebagai alat untuk memajukan agenda-agenda geopolitik atau untuk menghambat pembangunan dan kemajuan manusia.

Yang dibutuhkan dunia bukanlah hegemoni atau perpecahan. Demokrasi semu harus ditolak bersama-sama dan demokrasi yang lebih baik perlu didorong dalam hubungan internasional. Bagaimanapun juga, keberagaman merupakan karakteristik dari peradaban dan sistem politik di sepanjang sejarah umat manusia.

Banner

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan