Jakarta (Indonesia Window) – Bank Dunia menyetujui pendanaan senilai 1,03 miliar dolar Amerika Serikat (sekira 15,3 triliun rupiah) untuk membantu meningkatkan perdagangan regional Asia Selatan seperti di Bangladesh dan Nepal dengan mengurangi biaya perdagangan dan transportasi serta waktu transit di sepanjang koridor regional.
Fase 1 dari program Accelerating Transport and Trade Connectivity in Eastern South Asia (ACCESS) atau Percepatan Konektivitas Transportasi dan Perdagangan di Asia Selatan Bagian Timur akan membantu pemerintahan masing-masing negara dalam mengatasi hambatan-hambatan utama perdagangan regional.
Menurut pernyataan badan pemberi pinjaman yang berbasis di Washington ini pada Rabu (29/6), hambatan yang dimaksud termasuk proses perdagangan manual dan berbasis kertas, infrastruktur transportasi dan perdagangan yang tidak memadai, serta proses dan peraturan perdagangan dan transportasi yang bersifat membatasi.
Program ini akan membantu integrasi Nepal dan Bhutan yang terkepung daratan dengan negara-negara gerbang masuk, yakni Bangladesh dan India, sebut Bank Dunia.
“Perdagangan regional menawarkan potensi besar yang belum dimanfaatkan oleh negara-negara Asia Selatan. Saat ini, perdagangan regional hanya menyumbang 5 persen dari total perdagangan Asia Selatan, sedangkan di Asia Timur angkanya mencapai 50 persen,” kata Hartwig Schafer, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan.
“Asia Selatan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan menciptakan peluang bagi jutaan orang dengan meningkatkan perdagangan dan konektivitas regional,” tambahnya.
Pendanaan senilai 753,45 juta dolar untuk Proyek ACCESS di Bangladesh akan meningkatkan jalan Sylhet-Charkai-Sheola sepanjang 43 kilometer menjadi jalan empat lajur yang tahan terhadap iklim. Jalur ini akan menghubungkan Pelabuhan Darat Sheola dengan Jalan Bebas Hambatan Dhaka-Sylhet.
Di sisi lain, Proyek ACCESS senilai 275 juta dolar di Nepal akan meningkatkan jalan Butwal-Gorusinghe-Chanauta sepanjang 69 kilometer, di sepanjang Jalan Bebas Hambatan Timur-Barat, menjadi jalan bebas hambatan empat lajur yang tahan terhadap iklim.
Asia Selatan
Laporan regional Bank Dunia (World Bank) menyebutkan, pertumbuhan di Asia Selatan, dengan pembangunan yang tidak merata dan rapuh, akan lebih lambat dari yang diproyeksikan sebelumnya, karena dampak perang di Ukraina dan tantangan ekonomi yang terus-menerus.
Menurut South Asia Economic Focus Reshaping Norms: A New Way Forward, kawasan ini diproyeksikan tumbuh sebesar 6,6 persen pada 2022 dan 6,3 persen pada 2023. Prakiraan 2022 telah direvisi turun sebesar 1,0 poin persentase dibandingkan dengan proyeksi Januari.
Negara-negara di Asia Selatan masih terus bergulat dengan kenaikan harga komoditas, hambatan pasokan, dan kerentanan di sektor keuangan.
Perang di Ukraina akan memperbesar tantangan-tantangan ini, yang selanjutnya berkontribusi pada inflasi, meningkatkan defisit fiskal, dan memburuknya neraca transaksi berjalan.
Meskipun pertumbuhan PDB tetap solid selama pemulihan, semua negara di kawasan ini akan menghadapi tantangan ke depan.
Di India, konsumsi rumah tangga akan terkendala oleh belum pulihnya pasar tenaga kerja dan tekanan inflasi.
Maladewa menghadapi kerentanan karena impor besar bahan bakar fosil sebagai bagian dari PDB dan pengurangan wisatawan dari Rusia dan Ukraina.
Di Sri Lanka, prospek ekonomi sangat tidak pasti karena ketidakseimbangan fiskal dan eksternal.
Di Afghanistan, harga pangan yang lebih tinggi akan memperburuk kerawanan pangan.
Sementara salah satu tantangan Pakistan dalam lingkungan saat ini adalah subsidi energinya, yang merupakan yang terbesar di kawasan Asia Selatan.
Bangladesh akan menghadapi permintaan yang lebih lemah dari Eropa untuk ekspornya. Sebagai catatan positif, ekspor jasa dari kawasan ini meningkat.
Menurut Bank Dunia, negara-negara Asia Selatan harus menghindari subsidi bahan bakar yang tidak efisien, yang cenderung menguntungkan rumah tangga kaya dan menguras sumber daya publik.
Asia Selatan juga harus bergerak menuju ekonomi yang lebih hijau dengan secara bertahap memperkenalkan perpajakan yang mengenakan tarif pada produk yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Sumber: Xinhua; World Bank
Laporan: Redaksi