Banner

Sekjen PBB desak respons global terhadap kerawanan pangan dan konflik yang dipicu oleh iklim

Warga Palestina mengantre untuk mendapatkan bantuan makanan di Kota Rafah, Jalur Gaza selatan, pada 9 Februari 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Bencana iklim dan konflik memperburuk ketidaksetaraan, membahayakan mata pencaharian, dan menggusur penduduk, yang berpotensi meningkatkan ketegangan dan konflik, terutama di daerah-daerah dengan institusi yang rapuh dan masyarakat yang termarginalisasi.

 

PBB (Xinhua) – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Selasa (13/2) mendesak respons global terhadap berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kerawanan pangan dan konflik yang disebabkan oleh iklim.

Berbicara dalam debat terbuka tingkat tinggi Dewan Keamanan PBB mengenai dampak perubahan iklim dan kerawanan pangan terhadap pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, sekjen PBB itu menyerukan aksi global untuk “membangun masa depan yang layak huni dan berkelanjutan, bebas dari kelaparan, dan bebas dari bencana perang.”

Guterres melukiskan gambaran suram mengenai situasi global saat ini, di mana “krisis pangan global menciptakan neraka kelaparan dan duka bagi banyak warga termiskin di dunia,” diperparah dengan fakta bahwa “krisis iklim terjadi semakin cepat dengan kekuatan yang mematikan — tahun lalu merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat.”

Guterres menekankan korelasi langsung antara krisis dan perdamaian, mencatat bahwa “perut kosong memicu keresahan.”

Banner

Dia mengutip sebuah pepatah untuk menggambarkan konsekuensi mengerikan dari kelangkaan pangan, “Di Portugal, kami memiliki pepatah: ‘Di rumah yang tidak memiliki roti, semua orang berdebat, dan tidak ada yang benar.”

Kerawanan pangan dan konflik
Seorang wanita yang membawa makanan di kepalanya melintas di jalan pascagempa bumi di Les Cayes, Haiti, pada 17 Agustus 2021. (Xinhua/David de la Paz)

Lebih lanjut, Guterres menguraikan bagaimana bencana iklim dan konflik memperburuk ketidaksetaraan, membahayakan mata pencaharian, dan menggusur penduduk, yang berpotensi meningkatkan ketegangan dan konflik, terutama di daerah-daerah dengan institusi yang rapuh dan masyarakat yang termarginalisasi.

Menyoroti dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan, Guterres mengatakan bahwa “perempuan dan anak perempuan menanggung konsekuensi yang paling parah. Sama seperti yang mereka alami ketika terjadi kelangkaan pangan dan bencana iklim.”

Dia juga mencatat statistik yang mengkhawatirkan bahwa “iklim dan konflik merupakan penyebab utama kerawanan pangan akut bagi hampir 174 juta orang pada 2022.”

Dengan menarik perhatian pada wilayah-wilayah tertentu, Guterres memberikan contoh-contoh yang menyedihkan dari seluruh dunia, seperti di antaranya Suriah, Myanmar, Gaza, Haiti, Ethiopia, dan Sahel, di mana perpaduan antara perubahan iklim dan konflik telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah.

Dalam seruannya untuk melakukan aksi, Guterres menguraikan beberapa langkah penting untuk mengurangi ancaman-ancaman tersebut, termasuk kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional, pendanaan penuh untuk operasi kemanusiaan, resolusi konflik, kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG), aksi iklim, dan intervensi keuangan yang tertarget.

Banner

Guterres menyimpulkan dengan sebuah pesan harapan dan urgensi, “Pesannya jelas: kita dapat memutus mata rantai kelaparan, kekacauan iklim, dan konflik yang mematikan. Serta meredakan ancaman yang ditimbulkannya terhadap perdamaian dan keamanan internasional.”

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan