Teknologi tidak dapat lepas dari supremasi hukum, sementara kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan membuat radikalisasi menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
Canberra, Australia (Xinhua) – Pejabat tinggi intelijen dan kepolisian Australia menuduh perusahaan-perusahaan media sosial memicu disinformasi dan ekstremisme.
Direktur Jenderal Organisasi Intelijen Keamanan Australia (Australian Security Intelligence Organisation/ASIO) Mike Burgess dan Komisaris Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police/AFP) Reece Kershaw pada Rabu (24/4) mendesak perusahaan-perusahaan media sosial untuk lebih serius menindak ekstremisme dan melacak pelaku kriminal.
Dalam sebuah pidato bersama di National Press Club di Canberra, mereka mengatakan bahwa teknologi tidak dapat lepas dari supremasi hukum serta memperingatkan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan membuat radikalisasi menjadi lebih mudah dan lebih cepat.
Kershaw menuturkan bahwa warga Australia yang menggunakan open web dan dark web sudah terpapar racun ekstremis yang tidak ingin diberantas oleh perusahaan-perusahaan media sosial.
“Alih-alih memadamkan bara api yang mulai muncul di platform mereka, ketidakpedulian dan penolakan mereka malah semakin mempercepat kobaran api.”
Pernyataan tersebut disampaikan saat pemerintah federal terlibat dalam perselisihan dengan X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, terkait rekaman penikaman di sebuah gereja di Sydney yang terjadi beberapa waktu lalu pada April, yang oleh AFP dicap sebagai tindakan terorisme.
Pengadilan Federal Australia pada Senin (22/4) mengeluarkan perintah dalam dua hari kepada X untuk menghapus rekaman tersebut untuk semua pengguna secara global, setelah X awalnya menanggapi perintah dari Komisioner Keamanan Elektronik (eSafety Commissioner) Australia dengan memblokir konten untuk pengguna Australia saja.
Komisioner tersebut pada Maret memperingatkan perusahaan-perusahaan media sosial bahwa mereka akan dijatuhi denda senilai puluhan juta dolar jika mereka gagal menghapus konten teroris, ekstremisme kekerasan, dan pelecehan terhadap anak.
Laporan: Redaksi