Penerapan kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) telah berdampak pada perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah di Indonesia.
Jakarta (Indonesia Window) – Penerapan kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) telah berdampak pada perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah di Indonesia, menurut siaran pers tertulis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diterima di Jakarta, Jumat.
Kementerian Agama RI menyatakan bahwa selama ini kriteria hilal (bulan) awal Hijriah adalah di ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam.
Namun, berdasarkan hasil kesepakatan MABIMS pada tahun 2021, kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.
Perbedaan terkait penentuan awal Ramadhan dan hari raya 1 Syawal masih sering diperdebatkan hingga saat ini.
Di Indonesia, Kementerian Agama menggunakan kriteria baru yang mengacu MABIMS pada tahun 2021.
Perubahan kriteria tersebut berpengaruh terhadap penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia yang menggunakan metode hisab dan rukyat hilal (mengamati kemunculan Bulan baru).
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi, Prof. Thomas Djamaludin, mengatakan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah, sehingga tidak ada dikotomi antara kedua metode tersebut.
“Metode rukyat hilal diterapkan pada tanggal 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukyat akurat, arahnya dibantu dengan hasil hisab. Hisab bisa digunakan untuk membuat kalender Hijriah sampai waktu yang panjang di masa depan. Agar hisab merujuk juga pada contoh Rasul (ﷺ), maka kriterianya dibuat sesuai dengan hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat),” jelas Thomas.
Dia berpendapat, terjadinya perbedaan awal bulan Hijriah seperti Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, bukan karena perbedaaan antara metode hisab dan rukyat, namun karena perbedaan kriteria hilal.
Thomas menjelaskan bahwa kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat. Kriteria juga harus mengupayakan titik temu antara mereka yang menerapkan rukyat dan yang menerapkan metode hisab, serta MABIMS.
Metode hisab-rukyat dalam dunia Islam telah melewati shifting paradigm (pergeseran paradigma). Sebelumnya, hal ini hanya berkutat pada dalil-dalil hisab dan rukyat serta interpretasinya, namun kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global.
Laporan: Redaksi