Pelanggaran hukum dalam Pilkada bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang “bisa melibatkan komponen penyelenggara negara dan masyarakat luas, dan biasanya terjadi justru saat kampanye dan minggu tenang.”
Jakarta, (Indonesia Window) – Menjelang Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) yang akan digelar secara serentak di seluruh wilayah Indonesia untuk pertama kali pada 27 November 2024, pakar hukum nasional mengingatkan agar tim sukses (timses) setiap pasangan calon (paslon) memahami peraturan dan hukum yang berlaku guna menghadapi potensi sengketa yang sangat mungkin terjadi.
“Saat ini kita berada di tahap pelaksanaan kampanye. Harus diingat bahwa kampanye hanyalah merupakan salah satu bagian penting untuk memproklamirkan diri. Setelah kampanye, ada tahap dan proses selanjutnya yang harus dilaksanakan,” ujar Dr. Patrialis Akbar, yang juga mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2018, dalam wawancara khusus di Jakarta, Kamis (31/10).
Menurut dia, ada tiga tahapan penting dalam Pilkada yang harus diperhatikan oleh para paslon dan timses masing-masing, yakni tahap sebelum, saat, dan setelah Pilkada.
“Sebelum Pilkada, paslon dan timsesnya harus menginventarisir potensi-potensi pelanggaran hukum yang mungkin dilakukan oleh paslon-paslon lain,” katanya, seraya menambahkan, pihak yang sudah dinyatakan menang dalam perhitungan suara bisa saja menjadi pihak yang terkait sengketa hukum karena dilaporkan oleh paslon yang kalah.
Hal tersebut, lanjutnya, disebabkan pelanggaran hukum dalam Pilkada bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang “bisa melibatkan komponen penyelenggara negara dan masyarakat luas, dan biasanya terjadi justru saat kampanye dan minggu tenang.”
“Seseorang bisa melibatkan penyelenggara negara, seperti memanfaatkan oknum Komisi Pemilihan Umum, pegawai negeri, atau aparat lainnya, untuk misalnya, bagi-bagi uang ke masyarakat. Ini pelanggaran terstruktur,” urai Dr. Patrialis.
“Sementara pelanggaran sistematis adalah menggunakan fasilitas-fasilitas negara dan kegiatan-kegiatan pemerintah yang sudah terprogram, lalu dianggap sebagai program sendiri yang diambil alih, dengan melibatkan komponen-komponen yang seharusnya tidak boleh terlibat,” jelasnya.
Adapun pelanggaran masif, imbuhnya, “terjadi di lebih dari 50 persen daerah pemilihan.”
“Misalnya, ada 100 pemilihan gubernur, dan pelanggaran terjadi di lebih dari 50 kabupaten dan kota. Demikian juga pemilihan bupati dan wali kota yang pelanggaraannya terjadi di lebih dari 50 daerah pemilihan,” ujar Dr. Patrialis.
Sengketa angka
Menurut Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode 2009-2011 itu, sengketa Pilkada sangat berkaitan dengan angka perolehan suara.
“Saking banyaknya angka-angka ini, orang-orang pernah menyebut MK sebagai ‘mahkamah kalkulator’. Ini karena angka memang menentukan menang atau kalah. Ini absolut,” tegasnya.
Di dalam Peraturan MK No. 3 dan No. 4, MK melihat ambang batas, kata Dr. Patrialis. “Misalnya, jika suatu daerah terdiri atas lebih dari 6 juta jiwa, maka ambang batas 0,5 persen, jika 4 juta maka 1 persen, dan seterusnya. MK memutuskan ini terlebih dahulu.”
Namun kini, ambang batas tidak lagi menjadi perhatian MK. “Jadi walaupun tidak memenuhi ambang batas, tapi ada perbedaan suara yang jauh lebih besar, MK tidak akan memutus perkara ini sebelum melakukan pemeriksaan secara keseluruhan.”
“Keputusan ini juga berkaitan dengan adanya pelanggaran-pelanggaran TSM. Jika pelanggaran TSM terbukti, maka perolehan angka bisa gugur karena perolehan ini tidak sah,” ujar pakar hukum tersebut, seraya menekankan, MK bisa memutuskan “yang menang dikalahkan, bahkan bisa memutuskan untuk diadakan pemilihan ulang, penghitungan suara ulang, tergantung pada bentuk pelanggaran yang dilakukan.”
“Jadi dari sekarang, semua pihak yang ikut serta dalam Pilkada, termasuk timses, harus mempersiapkan diri, sampai saat pelaksanaan Pilkada,” tekannya.
Patrialis mengungkapkan, beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan angka dapat berupa penggelembungan suara yang seharusnya angka ‘0’ tertulis menjadi ‘10’; manipulasi perolehan suara dengan ‘menghilangkan’ suara di suatu kecamatan dan memunculkannya di tingkat kabupaten; mendatangkan pemilih-pemilih yang tidak terdeteksi; dan mencatat hasil penghitungan suara dari TPS (tempat pemungutan suara) ‘siluman’.
Dia menegaskan, sebelum menandatangani dokumen-dokumen Pilkada, para saksi yang terlibat harus jeli dalam mengawasi proses penghitungan, pengisian form C, C1, form hasil dan lainnya, serta memeriksa dokumen-dokumen pencatatan lainnya.
“Jika terjadi pelanggaran, segera laporkan ke Panwaslu dan Bawaslu secara berjenjang, sehingga menjadi dasar untuk mengajukan keberatan atas pelanggaran TSM,” ujar Dr. Patrialis.
Menurut dia, hal tersebut sangat penting karena tidak mungkin ada persidangan terhadap pelanggaran TSM, jika tidak ada laporan yang diajukan secara tertulis, yang dilengkapi dengan alat-alat bukti yang kuat.
“Baik pemohon maupun pihak terkait harus sama-sama mempersiapkan diri. Persiapannya harus matang. Timses, termasuk saksi-saksi, harus dibimbing dan diberikan pencerahan mengenai potensi sengketa ini, serta memahami aturan dan hukum,” urainya.
“Sesuai dengan pengalaman saya sebagai mantan hakim MK, pihak-pihak yang terlibat Pilkada hanya punya semangat, tanpa alat bukti yang kuat. Sementara, bicara soal sengketa harus didasarkan pada alat bukti. Pasti kalah tanpa alat bukti,” tegasnya.
Selain itu, Patrialis Akbar juga menyoroti aturan tenggat waktu dalam setiap tahapan Pilkada.
“Harus diingat bahwa MK punya keterbatasan waktu. Pengajuan keberatan paling lama tiga hari sejak penetapan suara oleh KPU. Kalau terlambat, maka pasti ditolak, dan pasti kalah,” ucapnya.
Namun demikian, penetapan suara di masing-masing daerah tidak dilakukan secara serentak karena mengikuti kondisi di setempat. “Misalnya, daerah yang berpenduduk sedikit, akan lebih cepat penetapannya, sedangkan penduduk yang lebih banyak, butuh waktu sepekan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, walaupun sudah dinyatakan menang, pihak-pihak terkait harus tetap memonitor segala keadaan, dan harus mengajukan diri sebagai pihak terkait melalui tim pengacara.
“Jangan sampai timses lemah. Mereka harus dikuatkan dengan pemahaman hukum dan aturan,” pungkas Patrialis.
Pemilihan Kepala Daerah pada 27 November mendatang akan digelar di 545 wilayah di seluruh Tanah Air, yang mencakup 37 provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 kota.
Laporan: Redaksi