Mantan Menkeu Thailand sebut jika menyerah pada tekanan tarif AS akan alami kerugian lebih besar

Langkah-langkah tarif Amerika Serikat bersifat “sepihak” dan tidak memiliki pembenaran teoretis, dan juga merugikan konsumen Amerika sendiri.
Bangkok, Thailand (Xinhua/Indonesia Window) – Langkah-langkah tarif Amerika Serikat (AS) bersifat “sepihak” dan tidak memiliki pembenaran teoretis, demikian disampaikan mantan menteri keuangan (menkeu) Thailand, Suchart Thadathamrongvech. Dirinya juga memperingatkan bahwa negara-negara yang menyerah pada permintaan tidak masuk akal AS dapat mengalami kerugian yang lebih besar.
“Tidak ada alasan untuk tunduk pada tekanan AS,” kata Suchart dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan Xinhua. Dia menyampaikan bahwa langkah-langkah tarif AS sangat berdampak pada negara-negara berkembang seperti Thailand dan juga merugikan konsumen Amerika sendiri.
Suchart memperingatkan bahwa negara-negara yang memilih untuk berkompromi dapat menjadi lebih menderita. “Jika Anda tunduk, mereka (pemerintah AS) akan meminta lebih banyak lagi. Tidak akan ada habisnya.”
Serangkaian kebijakan tarif dan perubahan arah yang terjadi setelahnya telah menciptakan gangguan yang signifikan terhadap perdagangan global, ujar Suchart.
Sebagai mantan profesor ekonomi, Suchart berpendapat bahwa alasan yang digunakan pemerintah AS untuk menaikkan tarif tidak didukung oleh teori ekonomi. Dia mengutip studi yang menunjukkan bahwa beban tarif AS yang terdahulu lebih banyak ditanggung oleh konsumen Amerika, ketimbang eksportir asing. Bahkan, jika beberapa industri memutuskan kembali ke AS, prosesnya akan memakan waktu yang lama, sedangkan dampak yang ditimbulkan untuk sementara ini sangat buruk.
“Amerika menyakiti rakyatnya sendiri,” ujar Suchart. “Ketersediaan barang kian menipis di rak-rak pasar swalayan, dan harga-harga akan terus meroket.”
Suchart kemudian menyoroti bahwa AS telah lama menjadi penerima manfaat yang besar dari sistem perdagangan global saat ini.
“AS telah lama mengandalkan pencetakan uang guna melakukan pembelian dari seluruh dunia. Mereka seharusnya tidak banyak mengeluh karena orang-orang bersedia memberi mereka komoditas riil untuk ditukar dengan uang yang mereka cetak itu,” ujar Suchart.
Perekonomian-perekonomian yang digerakkan oleh ekspor, seperti Thailand, sedang menghadapi tantangan serius akibat volatilitas tarif, lanjut Suchart. Dia mengatakan bahwa perencanaan ekspor biasanya membutuhkan waktu beberapa bulan dan perubahan mendadak dalam kebijakan perdagangan sangat menyulitkan negara-negara dan perusahaan-perusahaan dalam menyesuaikan strategi produksi dan pasar mereka secara tepat waktu.
Kementerian Keuangan Thailand baru-baru ini menurunkan proyeksi pertumbuhan 2025 dari 3 persen menjadi 2,1 persen, dengan alasan dampak tarif AS dan perlambatan ekonomi global. Bank sentral Thailand sebelumnya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara itu tahun ini dapat turun menjadi hanya 1,3 persen pada skenario terburuk.
Suchart menyerukan kepada negara-negara untuk tetap teguh dan melindungi kepentingan mereka sendiri di bawah tekanan semacam itu. Dia mendesak anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk terus mendukung perdagangan bebas, memperkuat hubungan dengan mitra dagang lainnya, serta meningkatkan koordinasi melalui kerangka kerja ASEAN guna menjaga kepentingan bersama.
“Terlalu bergantung pada sebuah pasar yang besar dengan kebijakan yang tidak dapat diprediksi seperti AS akan menempatkan kita dalam risiko,” tuturnya.
Laporan: Redaksi