Harta wakaf dapat disyirkahkan untuk usaha-usaha yang produktif yang dikelola secara profesional oleh orang-orang yang ahli di bidangnya dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab pengelolaan harta wakaf.
Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Kekuatan dan potensi ekonomi Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sangat besar, salah satunya karena syariat Islam memiliki mekanisme pengumpulan dan penyaluran harta melalui wakaf.
Secara hukum Islam, wakaf memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda menurut para ahli fiqih. Secara garis besar wakaf adalah sumbangan harta yang diberikan oleh seorang Muslim untuk tujuan keagamaan, pendidikan, atau amal lainnya yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi masyarakat luas.
“Wakaf adalah salah satu upaya permberdayaan harta kaum Muslim yang dapat diamalkan oleh siapa pun,” ujar Direktur Bidang Wakaf Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), Abu Rizal Rahman Priyadi, dalam wawancara khusus dengan Indonesia Window di Bogor, Selasa.
Dengan wakaf masyarakat Aceh kini dapat menikmati subsidi biaya haji yang dihasilkan dari investasi Hotel Aceh yang berada di Makkah, yang dibangun sejak zaman Kerajaan Aceh, tuturnya.
Selanjutnya, dia menerangkan, bahwa ada dua kegiatan yang melingkupi wakaf, yakni pengumpulan dan penyaluran atau pemberdayaan harta yang diwakafkan.
Lebih lanjut dia menjelaskan, harta yang diwakafkan dapat berupa barang bekas; “aset tidur” berupa bangunan rumah, ruko, dan lainnya yang sudah lama tidak dimanfaatkan atau dipakai; serta wakaf tunai berupa uang. “Dan tidak perlu jadi orang kaya dulu baru bisa berwakaf,” ujar Abu Rizal yang juga menjabat mudhir (direktur) Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) El-Arbah Kuningan, Jawa Barat, ini.
Baitul Maal Wat Tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dapat dan mampu melayani kebutuhan nasabah usaha mikro kecil dan kecil-mikro berdasarkan sistem syariah atau bagi hasil (profit sharing).
“Dengan seribu rupiah pun kita bisa berwakaf,” tegasnya, seraya mengatakan, dengan harta yang “hanya” sebesar 1.000 rupiah, maka seluruh kaum Muslim, termasuk para pedagang kecil dan ibu rumah tangga, “insyaa Allah” pasti mampu memiliki harta wakaf.
Wakaf 1.000 rupiah ini, lanjutnya, dapat dilakukan melalui gerakan “seribu sehari”. “Bayangkan jika ada 10.000 orang, maka akan ada dana masuk sepuluh juta dalam sehari. Harta wakaf ini bisa dikembangkan di sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, atau komunitas-komunitas.
Sementara itu, barang-barang bekas yang diwakafkan, menurut Abu Rizal, bisa berupa kendaraan atau perabotan rumah tangga. “Barang-barang ini dihibahkan dulu, lalu dijual untuk mendapatkan wakaf tunai yang akan dimasukkan ke badan wakaf.”
Selain itu, orang-orang berada yang memiliki rumah lebih dari satu, sawah, lahan yang “tidur” dan tidak dimanfaatkan, dapat diberdayakan dengan cara diakadkan dengan badan wakaf sebagai wakaf manfaat dalam jangka waktu tertentu, jelasnya.
“Dengan badan wakaf, pemilik harta bisa mewakafkan hartanya dengan akad ijarah, misalnya dengan menyewakan rumah atau ruko untuk menghasilkan pendapatan bagi badan wakaf, lalu disalurkan ke mauquf ‘alaih (penerima wakaf),” jelas Abu Rizal.
Pilihan skema lainnya adalah harta wakaf dapat disyirkahkan untuk usaha-usaha yang produktif yang dikelola secara profesional oleh orang-orang yang ahli di bidangnya dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab pengelolaan harta wakaf. “Misalnya kita bisa kerja sama dengan para petani yang membutuhkan lahan sawah dengan akad muzara’ah atau bagi hasil. Hasilnya ini bisa kita bagi ke badan wakaf,” terangnya, seraya menambahkan bahwa badan wakaf dan pemilik aset juga bisa menyepakati persentase bagi hasil dari pemanfaatan harta tersebut.
Syirkah (perseroan) adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang saling sepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Menurut Abu Rizal, skema-skema pemberdayaan harta wakaf seperti demikian sangat menarik, karena banyak Umat Islam yang memiliki harta warisan melimpah, seperti rumah dan tanah di kampung halaman orangtua mereka, namun karena tinggal di kota sehingga tidak dapat mengelola aset-aset ini.
“Ini sangat potensial sekali bagi kaum Muslimin karena kita bisa berwakaf tunai tanpa uang,” tegasnya.
Abu Rizal menegaskan bahwa secara akidah, wakaf merupakan sedekah jariyah yang harus dipersiapkan dan diamalkan oleh setiap Muslim karena akan mendatangkan pahala yang tidak terputus di akhirat kelak.
“Memiliki sedekah jariyah nggak mesti nunggu kaya. Gerakan seribu sehari atau memanfaatkan aset-aset tidur bisa menjadi pundi-pundi amal jariyah kita,” ujarnya.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyebutkan dalam situs jejaringnya, bahwa berdasarkan Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama tahun 2022, tanah wakaf di Indonesia sudah tersebar di 440.500 titik dengan luas total mencapai sekitar 57.200 hektare.
Selain itu potensi sektor perwakafan di Tanah Air, terutama wakaf uang, ditaksir mencapai angka 180 triliun rupiah per tahun.
Badan Wakaf Indonesia mencatat perolehan wakaf uang mencapai 1,4 triliun rupiah per Maret 2022. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan perolehan wakaf uang yang terkumpul sepanjang 2018-2021 senilai 855 miliar rupiah.
Laporan: Redaksi