Jakarta (Indonesia Window) – Harga minyak mentah di pasar New York Mercantile Éxchange ditutup turun tipis pada hari Kamis (13/1) atau Jumat pagi WIB) karena investor mengambil keuntungan setelah dua hari naik di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga AS yang agresif.
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS turun 52 sen, atau 0,6 persen, pada 82,12 dolar AS per barel, setelah sempat naik 5,6 persen selama dua hari sebelumnya.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka Brent turun 20 sen, atau 0,2 persen, menjadi 84,47 dolar AS per barel setelah pada perdagangan Selasa dan Rabu naik 4,7 persen.
“Federal Reserve mungkin perlu menaikkan suku bunga empat kali pada tahun 2022 jika inflasi tidak cepat membaik,” kata Presiden Federal Reserve (Fed) Chicago Charles Evans, Kamis (13/1).
Dia pun menambahkan bahwa karena inflasi tetap tinggi pada jangka waktu lebih lama, The Fed harus mengambil tindakan lebih cepat dari yang diharapkan.
“Data inflasi harga produsen AS seperti bulan lalu dapat memberi tekanan pada The Fed untuk mengendalikan ekonomi, yang berpotensi menjadi hambatan pada harga minyak mentah dan mendukung dolar,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital Management di New York.
Dia menjelaskan harga minyak biasanya bergerak terbalik terhadap dolar AS di mana greenback yang lebih kuat akan membuat komoditas lebih mahal.
Menurut Kilduff, bahwa kenaikan data klaim pengangguran AS awal juga dapat melemahkan permintaan terhadap bahan bakar minyak.
Beberapa investor melihat lebih dalam pada data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) pada hari Rabu, yang menyebutkan persediaan minyak mentah turun lebih dari perkiraan yang terpukul akibat pandemi virus Omicron.
Persediaan bensin meningkat 8 juta barel dalam sepekan hingga 7 Januari, dibandingkan dengan ekspektasi analis untuk kenaikan 2,4 juta barel.
“Pada kenyataannya, laporan pekanan EIA kurang tinggi dari perkiraan utama, karena total persediaan minyak mentah turun 4,8 juta barel tetapi diimbangi peningkatan pada stok seluruh minyak produk olahan,” kata analis Citi Bank.
Penurunan persediaan minyak mentah “mungkin terkait dengan masalah pajak akhir tahun pada stok minyak di Texas dan Louisiana”, tambah bank tersebut.
Namun kerugian dibatasi oleh spekulasi bahwa Omicron tidak cukup parah untuk menggagalkan pemulihan permintaan global dan cuaca dingin di Amerika Utara.
Beberapa analis memperkirakan kenaikan harga minyak akan berlanjut, di mana kapasitas produksi yang sedikit dan investasi terbatas dapat mengangkat minyak mentah ke 90 dolar AS per barel atau bahkan di atas 100 dolar AS per barel.
JP Morgan memperkirakan harga minyak akan naik setinggi 125 dolar AS per barel tahun ini.
Minyak mentah berjangka AS untuk pengiriman Februari 2023 diperdagangkan dengan potongan harga lebih dari 9 dolar AS untuk minyak mentah berjangka untuk pengiriman Februari, bergerak ke wilayah overbought untuk pertama kalinya sejak November 2021.
Laporan: Redaksi