Dampak hubungan lintas selat antara China dan Taiwan akan memengaruhi ASEAN, termasuk 300.000 WNI yang tinggal di Pulau Formosa, baik sebagai pelajar maupun pekerja migran.
Jakarta (Indonesia Window) – Jaringan Alumni Taiwan di Indonesia dan Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei di Jakarta (TETO) bekerja sama dengan Center for Business and Diplomatic Studies (CBDS) Universitas Bina Nusantara (Binus) menyelenggarakan diskusi dengan tema ‘Flashpoint Formosa: Navigating the Ripple Effects of Cross-Strait Tensions on Southeast Asia’s Security, Technology, and Agriculture’, di Jakarta, Kamis (5/9).
Dalam sambutannya membuka acara tersebut, Wakil Kepala TETO Steve Chen menjelaskan bahwa sudah banyak kerja sama yang terjalin antara Indonesia dan Taiwan, khususnya dalam bidang pendidikan, ketengakerjaan, pertanian, dan teknologi.
Khusus dalam bidang teknologi, Chen menekankan bahwa Taiwan termasuk salah satu negara yang diperhitungkan di dunia karena sukses mempertahankan posisi sebagai produsen cip terbesar di dunia.
“Dunia membutuhkan Taiwan karena kebutuhan 90 persen chips di dunia di produksi di Taiwan,” ujarnya, seraya menambahkan, sehingga jika China menginvasi Taiwan, diperkirakan dampak globalnya akan melebihi 10 triliun dolar AS atau sekitar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) global.
Lebih lanjut, Direktur TETO, William W.L Hsu, menambahkan bahwa dari berbagai kerja sama yang terjalin antara Indonesia dan Taiwan itu, 28 di antaranya telah memiliki MoU (memorandum of understanding) di level G-to-G (government to government). MoU ini dapat mempererat kerja sama antara Indonesia dan Taiwan.
Kerja sama antara kedua pihak sejauh ini mencakup bidang teknologi, ketenagakerjaan dan pertanian. Namun, menurut Hsu, ada banyak potensi kerja sama lainnya yang dapat dijalin dan diperkuat guna mempererat hubungan Indonesia dan Taiwan, yang akan membuka ribuan bahkan jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Dalam diskusi tersebut, dosen Universitas Padjadjaran, Bandung, Dr. DR. Teuku Rezasyah memaparkan dampak cross-strait relation (hubungan lintas selat) terhadap ASEAN, khususnya Indonesia.
Salah satu hal penting yang ditekankan olehnya adalah, banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Taiwan. Tidak kurang 300.000 WNI tinggal di Pulau Formosa, baik sebagai pelajar maupun pekerja migran.
“Keberadaan mereka ini tentunya akan memberikan pengaruh tersendiri bagi bangsa Indonesia apabila terjadi gejolak cross-strait relation,” tuturnya.
Dr. Teuku Rezasyah menekankan pentingnya penyelesaian masalah cross-strait relation dilakukan melalui musyawarah secara damai antara China dan Taiwan.
Selain itu, menurutnya, negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Vietnam, dan Thailand, yang merupakan sumber pekerja migran terbesar, perlu membuat MoU bersama dengan Taiwan dalam menetapkan kriteria dan standar pekerja. Hal ini disebabkan ketergantungan Taiwan akan tenaga kerja yang berasal dari negara-negara ASEAN akan terus meningkat setiap tahun.
Sementara itu, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus alumni Taiwan, Dr. Erry Dwi Kurniawan menyikapi permasalahan cross-strait relation dari perspektif teknologi.
“Bahwa tidak terelakkan lagi Taiwan memiliki posisi sentral dan strategis dalam perang teknologi yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Sebagai penghasil chips terbesar di dunia, kehadiran Taiwan sangat diperhitungkan dalam global semiconductor value chain,” tegasnya.
Indonesia sendiri saat ini sedang mengembangkan industri semikonduktor dan membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak, termasuk Taiwan, imbuhnya.
Menurut Dr. Erry, sumber daya manusia Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Jumlah insinyur di Indonesia tercatat sebanyak 5.300 orang per 1 juta penduduk, sedangkan di Vietnam mencapai 9.000 orang per 1 juta penduduk, dan Malaysia sebanyak 12.000 orang per 1 juta penduduk.
Dampak hubungan lintas selat juga mencakup sektor pertanian. Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang juga alumni Taiwan, Effendi Andoko mengatakan, kerja sama Indonesia dan Taiwan sudah terjalin sejak 46 tahun yang lalu.
Selama menempuh studi dan mengajar di Taiwan, dia menyaksikan banyak kemajuan teknologi di bidang pertanian yang dapat diadopsi oleh Indonesia. Salah satunya adalah pesawat nirawak (drone) yang dapat mendeteksi pohon sawit yang sakit di antara jutaan pohon yang tumbuh di lahan perkebunan.
“Teknologi ini belum ada di Indonesia dan tentunya akan sangat membantu petani sawit. Selain itu, potensi kerja sama Indonesia dan Taiwan bukan hanya dalam hal transfer teknologi, namun juga dalam kerja sama ekspor-impor yang pada akhirnya memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak,” paparnya.
Diskusi yang menghadirkan para lulusan Indonesia dari Taiwan tersebut diharapkan membuka peluang kerja sama antara kedua pihak, sekaligus memaksimalkan potensi alumni Taiwan yang sudah kembali ke Tanah Air.
Laporan: Redaksi