Jakarta (Indonesia Window) – Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Ahad (16/8) menyelesaikan uji klinis kandidat imunomodulator (obat yang dapat memodifikasi respons imun, serta menstimulasi mekanisme pertahanan alamiah dan adaptif) yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia untuk pasien COVID-19.
Dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris (sejenis jamur) dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri atas rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera), menurut pernyataan dari LIPI yang diterima di Jakarta, Selasa.
Saat ini data uji klinis sedang diverifikasi guna memastikan hasil akurat, kemudian dikirim kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator.
“Uji klinis imunomodulator dengan bahan asli dari keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang pertama yang dilakukan secara independen serta melibatkan banyak pihak untuk memastikan obyektifitas dan akurasinya terjaga,” jelas Kepala LIPI Laksana Tri Handoko.
Handoko menuturkan, jika dua imunomodulator itu terbukti dan dinyatakan BPOM berkhasiat berdasarkan analisis terhadap data hasil uji klinis dan penelitian, maka produk tersebut bisa menjadi fitofarmaka (obat yang berasal dari tanaman).
“Jika menjadi fitofarmaka, maka produk imunomodulator itu dapat diproduksi massal dan diresepkan oleh dokter untuk dipakai dalam penanganan pasien. Tentunya dengan harga relatif jauh lebih murah karena formula dan bahan bakunya lokal,” tutur Handoko.
Sementara itu, Masteria Yunovilsa Putra dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI menjelaskan hasil akhir akan disampaikan berdasarkan analisa BPOM terhadap uji klinis yang diberikan tim tersebut.
“Kami tidak akan menyatakan klaim khasiat sebelum ada hasil resmi dari BPOM,” ujar Masteria selaku Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19.
Masteria menerangkan, uji klinis melibatkan 90 subyek penelitian dengan rentang usia 18 hingga 50 tahun yang diberikan intervensi selama 14 hari.
Kriteria subyek penelitian adalah pasien positif COVID-19 baru yang telah dikonfirmasi melalui uji Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan memiliki gejala pneumonia (radang paru-paru) ringan.
“Subyek juga tidak hamil atau menderita penyakit lain seperti DBD, demam tifus, gangguan jantung, gangguan ginjal, atau memiliki alergi terhadap produk yang diujikan,” jelas dia.
Dengan metode sistem blinding atau pembutaan yang acak dan tersamar ganda, sehingga baik subyek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan kepada subyek tersebut adalah salah satu dari produk yang diujikan, atau plasebo (obat kosong yang tidak mengandung zat aktif dan tidak dapat memberikan efek apa pun).
“Metode uji klinis kandidat imunomodulator dilakukan secara acak, terkontrol, tersamar ganda dengan plasebo guna menghindari terjadinya bias pada penelitian,” terang Masteria.
Ada dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subyek uji yang dibagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok perlakuan pertama mendapat terapi standar COVID-19 dan Investigational Product 1 (kombinasi herbal); kelompok perlakuan kedua mendapat terapi standar COVID-19 dan Investigational Product 2 (Cordyceps); dan kelompok kontrol mendapat terapi standar COVID-19 dan plasebo.
Tujuan utama dari uji klinis ini adalah mengetahui apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya.
“Uji klinis juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif setelah adanya perbaikan gejala klinis,” kata Masteria.
Laporan: Redaksi