Oleh penulis Xinhua: Huang Yaoman dan Lyu Qiuping
Cagar Alam Nasional Ngarai Besar Yarlung Zangbo yang didirikan pada tahun 2000, mendorong Tashi dan warga desa lainnya menyerahkan senjata api mereka, mengakhiri tradisi berburu mereka. Sejak saat itu, Tashi dipekerjakan sebagai jagawana, berpatroli di hutan sebanyak dua kali dalam sebulan.
Lhasa (Xinhua) – Di sebuah pondok yang unik, berbagai hewan liar yang diawetkan menggantung di langit-langit, sementara peralatan primitif seperti mangkuk tanah liat dan keramba bambu dipajang di atas meja. Sambil menunjuk ke arah pakaian tradisional yang tergantung di dinding, Tashi (52) memperkenalkan kekayaan budaya etnis tradisionalnya kepada para wisatawan.
Tashi merupakan bagian dari suku Lhoba, salah satu kelompok etnis terkecil di China, dan berasal dari sebuah desa di wilayah Medog, Daerah Otonom Xizang, China barat daya. Mantan pemburu ini mengubah pondoknya menjadi sebuah museum kecil yang memamerkan barang-barang yang berkaitan dengan perburuan dan perlengkapan bertahan hidup.
Dahulu, kelompok etnis Lhoba bertahan hidup dengan berburu dan bertani secara primitif di Medog, yang terletak jauh di dalam kawasan Pegunungan Himalaya.
Penduduk desa setempat seperti Tashi meninggalkan aktivitas berburu dan memulai kehidupan baru setelah Medog dimasukkan ke dalam cagar alam nasional pada tahun 2000. Kehidupan mereka bertransformasi lebih jauh lagi ketika jalan raya pertama yang menghubungkan Medog dengan dunia luar dibuka untuk umum pada 2013.
Dahulu, Tashi adalah salah satu pemburu terbaik di desanya. “Pada masa kejayaan saya, saya sanggup berburu tiga ekor takin (sejenis kambing gunung) liar dalam sehari,” kata Tashi, dengan suara yang menyiratkan kebanggaan dan ketangkasan di masa mudanya.
Ekspedisi berburu biasanya melibatkan warga desa yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, yang kemudian menghabiskan waktu lebih dari sepekan di hutan lebat untuk berburu hingga mendapatkan persediaan makanan yang cukup, kenangnya.
Meski demikian, gaya hidup seperti itu penuh dengan risiko. Dikelilingi bukit-bukit tinggi dan hutan lebat, daerah ini kaya satwa liar namun rentan terhadap tanah longsor karena kondisi geologisnya yang kompleks dan curah hujan yang tinggi.
Tashi menuturkan bahwa dia pernah tergelincir dan jatuh dari ketinggian lebih dari 30 meter ke dalam jurang ketika sedang berburu setelah hujan deras, dan membutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk pulih dari luka-lukanya. Dia juga pernah menyaksikan seorang warga desa terseret arus sungai yang deras, dan jasadnya tidak pernah ditemukan.
Pada tahun 2000, setelah didirikannya Cagar Alam Nasional Ngarai Besar Yarlung Zangbo, yang mencakup wilayah Medog, Tashi dan warga desa lainnya menyerahkan senjata api mereka, mengakhiri tradisi berburu mereka. Sejak saat itu, Tashi dipekerjakan sebagai jagawana, berpatroli di hutan sebanyak dua kali dalam sebulan.
“Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk membiasakan diri dengan transisi dari membunuh hewan menjadi melindungi mereka,” kata Tashi sambil tersenyum.
Menurut biro kehutanan dan padang rumput di wilayah Medog, saat ini terdapat 2.106 jagawana seperti Tashi. Tugas utama mereka adalah mencegah kebakaran hutan, melindungi tanaman langka, dan menyelamatkan hewan-hewan liar yang terancam bahaya.
Tashi pernah menyelamatkan seekor burung hantu lumbung, spesies yang berada di bawah perlindungan nasional kelas dua di China, yang terluka. “Biro kehutanan dan padang rumput di wilayah itu memberi kami pelatihan, jadi saya tahu cara menangani situasi seperti ini,” kata Tashi, seraya menambahkan bahwa dia membawa burung hantu itu pulang, menelepon biro tersebut, dan burung itu pun mendapat perawatan di Kota Nyingchi. Sejak 2018, para jagawana di Medog telah menyelamatkan 30 satwa liar yang berada di bawah perlindungan nasional.
Berkat upaya konservasi di wilayah tersebut, Xizang telah mencapai ‘pertumbuhan ganda’ dalam hal cakupan vegetasi hutan dan padang rumput. Terdapat 1.072 spesies vertebrata liar darat di Xizang, termasuk 65 spesies hewan liar yang berada di bawah perlindungan nasional kelas satu seperti macan tutul salju, yak liar, dan antelop Tibet, serta 152 spesies hewan liar yang berada di bawah perlindungan nasional kelas dua, ungkap buku putih yang diterbitkan tahun lalu.
Selain bekerja sebagai jagawana, dengan pendapatan 6.000 yuan per tahun, Tashi juga mengelola sebuah rumah makan desa yang melayani wisatawan dan memetik daun teh di waktu senggangnya, menghasilkan total pendapatan tahunan sekitar 100.000 yuan.
Menurut Tashi, dahulu mereka hidup “seperti binatang”, tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, kini keadaan telah berubah menjadi lebih baik. Anak bungsunya baru saja lulus dari universitas, dan dua anaknya yang lain bekerja sebagai pegawai negeri di Xizang.
Menurut buku putih tersebut, Xizang memiliki sistem perawatan kesehatan publik komprehensif yang mencakup layanan medis dasar reguler, perawatan kesehatan ibu dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta pengobatan dan terapi Tibet. Wilayah ini juga merupakan wilayah setingkat provinsi pertama di China yang menyediakan pendidikan yang didanai pemerintah selama 15 tahun, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, yang sangat kontras dengan situasi 70 tahun yang lalu ketika akses ke pendidikan hanya terbatas pada kaum bangsawan.
Meskipun hari-hari yang diisi dengan aktivitas berburu kini telah berlalu, Tashi berharap orang-orang dapat melihat sebagian kecil dari masa itu melalui museum kecilnya. “Saya berharap pengunjung akan melihat dan memahami budaya tradisional Lhoba dan menghargai kehidupan yang kita miliki saat ini.”
*1 yuan = 2.213 rupiah
Selesai