Fokus Berita – Indonesia Consulting Group sepakat BRICS subjek kajian strategis untuk terus ditelaah
BRICS yang diprakarsai oleh Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan terbentuk pada 2009 dan merupakan kerja sama multilateral di luar blok yang biasanya dipimpin oleh Amerika Serikat atau Uni Eropa seperti G7 maupun G20.
Jakarta (Indonesia Window) – Sebuah kerjasama internasional yang disebut BRICS saat ini telah menjelma menjadi sebuah ‘kekuatan baru’ yang bisa dikatakan menantang keberadaan berbagai bentuk kerjasama multilateral lainnya yang banyak dimotori oleh negara Blok Barat.
BRICS yang diprakarsai oleh Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan terbentuk pada 2009 dan merupakan kerja sama multilateral di luar dari blok yang biasanya dipimpin oleh Amerika Serikat atau Uni Eropa seperti G7 maupun G20.
Keberadaan BRICS yang semakin fenomenal inilah yang kemudian mendorong sebuah lembaga baru, Indonesia Consulting Group (ICG), dan melakukan semacam kajian melalui sebuah survei sederhana dengan mengambil responden dari kalangan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan hubungan internasional yang masih kuliah di semester lima.
Para mahasiswa itu berasal dari 10 kampus di sekitar Jakarta, menurut siaran pers Global Future Institute yang diterima Indonesia Window di Jakarta, Selasa.
Kesepuluh kampus tersebut ialah Universitas Alazhar, Universitas Bina Nusantara, Universitas Jayabaya, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Moestopo, Universitas Nasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Universitas Indonesia, Universitas Paramadina dan Universitas Pembangunan Nasional.
“Secara umum hasil survei ini membuktikan bahwa mayoritas responden memandang BRICS sebagai forum kerjasama internasional yang positif bagi kepentingan Indonesia ke depan,” kata Rahadi Teguh Wiratama, Ketua Survei sekaligus pemimpin ICG dalam sambutannya saat pembukaan Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terpumpun).
Hal ini terlihat melalui sikap dan respons para responden mengenai wacana publik tentang kemungkinan Indonesia yang tengah mengupayakan bergabung ke dalam BRICS.
FGD bersama sejumlah pakar dan pemerhati internasional itu berlangsung di Wisma Daria, Jakarta, pada Rabu (21/2).
Diskusi kelompok yang mengusung tema ‘BRICS: Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia’, mendapat respons positif dari narasumber dan peserta aktif.
Kegiatan tersebut juga mendapat tanggapan dan masukan kritis dari para pembicara utama, Dr. Edy Prasetyono, tenaga profesional dari Lemhannas, diplomat senior dan mantan Dubes RI untuk Iran 2012-2016 Dian Wirengjurit, Hendrajit, peneliti dari Global Future Institute (GFI), serta beberapa dosen dari beberapa kampus yang mahasiswanya ikut terlibat dalam survei.
Sebagian besar peserta FGD menanyakan apakah memang perlu Indonesia bergabung ke dalam BRICS? Apa manfaatnya bila bergabung? Dan bagaimana sikap politik luar negeri Indonesia sendiri dalam menyikapi fenomena internasional seperti munculnya BRICS dari perspektif Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif?
Dalam telaahnya, Dr. Edy Prasetyono di depan forum panel para ahli dalam FGD tersebut menjawab pertanyaan strategis tersebut secara tegas. Indonesia jika bergabung dalam BRICS, harus mempunyai sasaran spesifik.
“Misalnya kita harus mengenali dulu apa keunggulan utama kita di bidang sumberdaya alam. Apakah kita mau fokus di mineral, tambang batu-bara, nikel atau seperti apa,” katanya
Intinya saat bergabung ke BRICS, menurut dia, Indonesia harus sudah mempunyai keunggulan khusus atau khas yang negara-negara lain tidak miliki.
“Nah di situlah Indonesia harus tampil mengisi celah yang tidak dimiliki negara-negara anggota BRICS lainnya,” kata Edy.
Namun terlepas dari masukan tersebut, Edy memandang BRICS saat ini menunjukkan suatu arah menuju ‘Multi-Polar Global Governance’.
“Dengan kata lain para perancang BRICS sebagai blok ekonomi dan perdagangan berusaha menciptakan suatu sistem yang baru sebagai alternatif terhadap dominasi Barat. Seraya menantang hegemoni G-7. Ini nampak sekali. Sehingga BRICS ini sekadar blok ekonomi dan perdagangan, atau bahkan sudah berkembang menjadi entitas politik,” katanya.
Diplomat senior Kementerian Luar Negeri dan mantan Duta Besar RI untuk Iran Dr Dian Wirengjurit menegaskan, dalam membuat pertimbangan terkait keputusan Indonesia bergabung dalam BRICS, jangan hanya menelaah dari segi kerja sama ekonomi dan perdagangan saja melainkan juga dari segi politik, ekonomi, diplomasi, bahkan juga dari aspek perkembangan teknologi yang semakin pesat dewasa ini.
“Dengan kata lain, harus ada telaah Geopolitik yang menyeluruh dan mendalam terkait BRICS,” ujar Dian.
Sementara itu, Hendrajit, pengkaji geopolitik dan Direktur Eksekutif GFI, menawarkan suatu pendekatan yang merangkum beberapa pandangan dari kedua narasumber terdahulu.
“Bahwa untuk jadi pertimbangan Indonesia bergabung dalam BRICS perlu didasari dua pertimbangan strategis. Pertama, perlu reaktualisasi Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif. Makna substansial Politik Luar Negeri Bebas aktif itu: Sebagai pergerakan, sifatnya pro- aktif,” katanya.
Sebagai kebijakan, sifatnya konstruktif. Pro- aktif, artinya tahu betul apa yang jadi prioritas kepentingan nasional Indonesia dalam merespons dinamika dan pergeseran global saat ini.
Misalnya, menurut dia, saat ini telah terjadi pergeseran dari unipolar atau kutub tunggal yang selama ini AS dan Uni Eropa yang merupakan kutub tunggal, menjadi ragam kutub atau multiopolar.
Dikatakan, benih-benihnya munculnya pergeseran dari unipolar ke multipolar bermula pada 2001 lalu saat China dan Rusia membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO).
“Sejak itu benih-benih tumbuhnya kerja sama internasional berbasis multipolar mulai bermunculan seperti BRICS dan juga Forum Kerja Sama Ekonomi Eropa dan Asia. Keduanya telah mengondisikan kemunculan China dan Rusia sebagai kutub alternatif,” ujar Hendrajit.
Maka dari itu, buat Indonesia tinggal merumuskan prioritas kepentingan nasionalnya sehingga seperti harapan Dr. Edy Prasetyono maupun Dr Dian Wirengjurit, agar ketika bergabung dengan BRICS, sudah memiliki keunggulan komparatif yang khas merupakan keunggulan Indonesia.
Di sinilah pentingnya bukan saja mengetahui kondisi geografis negeri kita sendiri, pun juga harus mengetahui kekuatan geografis kita baik lokasi geografisnya, sumberdaya alamnya, sumberdaya manusianya, dan bahkan jugaa kondisi fisik lingkungannya (apakah maritim/daerah pesisir, pertanian/pedalaman, atau pegunungan), katanya.
“Semua itu kalau kita kenali kekuatannnya, merupakan input geopolitik dalam menentukan kebijakan strategis luar negeri Indonesia, tak terkecuali terkait keikutsertaan Indonesia sebagai anggota BRICS baru pada 2024,” katanya.
Beberapa peserta aktif dari kalangan staf pengajar program studi hubungan internasional hadir dan memberikan pandangannya dalam FGD yang diselenggarakan di Wisma Daria, Jakarta Sekatan.
Mereka yang hadir antara lain Dr Asra Virgianita, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia, dan Teguh Santosa MA, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial-Politik jurusan Hubungan Internasional, Universita Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Acara tersebut juga dihadiri oleh Laode Muhamad Fathun SIP. M.H.I, staf pengajar Analisis Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi, Universitas Pembangunan (UPN) Jakarta, Emil Radhiansyah, MSI, staf pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, Leila Indriyanti, S Sos,M, SI, Kepala Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Kelima pakar hubungan internasional tersebut secara umum senada, bahwa BRICS sejatinya merupakan subyek yang penting dan strategis, sehingga perlu telaah yang komprehensif dan mendalam secara intensif dan kontinyu.
Salah seorang peserta aktif menyarankan perlunya Series of Dialog terkait BRICS, khususnya tentang cost and benefit, faktor untung dan ruginya, jika Indonesia bergabung ke dalam BRICS.
Rahadi Teguh Wiratama, yang memimpin langsung proses survei ICG di 10 universitas yang memiliki program studi hubungan internasional, sepakat bahwa survei baru tahap awal dari perbincangan dan pembahasan lebih mendalam terkait BRICS.
Maka masukan dari para pemangku kebijakan luar negeri, termasuk yang hadir dalam FGD itu merupakan tahapan yang tak kalah penting dengan hasil survei itu sendiri.
Laporan: Redaksi