Kendati demikian, tidak semua warga di Gaza mampu bangun kembali tempat tinggal mereka secara mandiri.
Jakarta (Indonesia Window) – Tak lama setelah eskalasi ketegangan di Gaza mereda, Mohammed Abu Hasira serta warga Gaza bergegas bangun kembali restoran kecil miliknya dan tempat tinggal di Gaza City, yang hancur dalam gelombang terbaru ketegangan militer.
Sebelumnya pada bulan ini, wilayah kantong pesisir tersebut menjadi saksi terjadinya eskalasi ketegangan selama tiga hari antara pasukan Israel dan Jihad Islam Palestina (Palestinian Islamic Jihad/PIJ), yang menyebabkan sedikitnya 49 warga Palestina tewas dan lebih dari 350 lainnya luka-luka.
Kendati Abu Hasira menderita kerugian besar dalam pengeboman yang dilancarkan Israel itu, dia tidak dapat menunggu dana yang disediakan oleh otoritas setempat untuk membangun kembali restoran miliknya karena menunggu justru akan menimbulkan lebih banyak kerugian.
Restoran ‘Abu Ali’, yang menunya berfokus pada hidangan laut dengan cita rasa pedas dan khas dan dimiliki oleh keluarga Abu Hasira, dianggap sebagai salah satu landmark terpenting di sektor tersebut dan destinasi wisata yang menerima puluhan pelanggan asing setiap hari.
“Saya tidak bisa menghentikan pekerjaan saya… atau para karyawan akan kehilangan pekerjaan mereka dan keluarga mereka akan jatuh miskin,” ujar Abu Hasira.
Sebanyak lima karyawan dipekerjakan di restoran seluas 200 meter persegi tersebut, dan masing-masing menerima upah sekitar 300 dolar AS (sekira 4,4 juta rupiah) per bulan.
“Warga Gaza mampu menghadapi beragam kesulitan karena kami meyakini ‘tidak ada keputusasaan dalam kehidupan dan tidak ada kehidupan dalam keputusasaan’,” tutur Abu Hasira, seraya mengatakan bahwa kehidupan di Gaza begitu luar biasa, dan menghadapi perkembangan yang tidak terduga di Gaza pastilah merupakan hal yang luar biasa.
Kendati demikian, tidak semua orang di Gaza mampu membangun kembali rumah mereka secara mandiri.
Hassan Shamalakh (69), seorang ayah dengan tujuh anak, harus tinggal di rumah kerabatnya dan menunggu pelaksanaan rekonstruksi oleh pihak berwenang.
“Tanpa peringatan apa pun sebelumnya, sepuluh anggota keluarga saya dan saya sendiri menjadi tunawisma karena rumah kami rusak berat saat pesawat tempur Israel menyerang sebuah bangunan tempat tinggal di dekat kami,” tuturnya.
Pria lanjut usia tersebut mengatakan bahwa dirinya masih sering kembali ke rumahnya yang telah hancur dan menghabiskan waktu di sana.
“Itu bukan hanya rumah saya, melainkan juga dunia saya yang saya bangun selama bertahun-tahun,” kata Shamalakh dengan suara bergetar.
Sebelumnya pada Agustus, gelombang ketegangan terbaru antara pasukan Israel dan PIJ merenggut nyawa 49 warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita, dan lebih dari 350 lainnya luka-luka, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan di Gaza, eskalasi ketegangan baru-baru ini telah menyebabkan 22 unit rumah hancur total, 77 unit hancur sebagian, dan 1.908 lainnya tidak dapat dihuni.
Sumber: Xinhua
Laporan: Redaksi