Undang-Undang keluarga UEA yang baru akan mulai diterapkan pada 1 Februari 2023, mencakup masalah pernikahan, perceraian, warisan, wasiat, serta bukti paternitas, dan juga berlaku bagi warga non-Muslim.
Jakarta (Indonesia Widnow) – Uni Emirat Arab (UEA) telah mengeluarkan undang-undang (UU) baru yang berkaitan dengan status pribadi penduduk non-Muslim di negara itu. Kantor berita resmi negara WAM melaporkan pada hari Jumat (9/12) bahwa undang-undang baru tersebut akan mulai berlaku pada 1 Februari 2023.
Dikatakan bahwa penerbitan UU tersebut merupakan bagian dari upaya negara Timur Tengah itu untuk mengembangkan sistem legislatifnya, dan untuk mendukung upaya dan aspirasinya selama 50 tahun ke depan. UU itu juga bertujuan memperkuat kepemimpinannya dalam toleransi, koeksistensi, stabilitas keluarga, dan keragaman demografis.
UU baru tersebut mengatur syarat-syarat perkawinan dan tata cara melangsungkan serta mendokumentasikan perkawinan di hadapan pengadilan yang berwenang.
UU itu juga menentukan tata cara perceraian yang dapat diajukan secara bersama-sama atau secara sepihak,mengatur prosedur penyelesaian klaim keuangan setelah perceraian, dan pengaturan hak asuh bersama untuk anak-anak.
Selain itu, undang-undang itu juga mengatur tata cara pewarisan dan surat wasiat, serta bukti-bukti paternitas.
Dr. Hasan Elhais dari Al Rowaad Advocates di Dubai, menjelaskan bahwa UU baru itu akan berlaku bagi non-Muslim di UEA terkait pernikahan, perceraian, warisan, wasiat, dan bukti paternitas, kecuali salah satu dari mereka bersikeras menerapkan hukum negara mereka.
Selain itu, warga asing non-Muslim dapat setuju untuk menerapkan undang-undang lain tentang keluarga atau status pribadi yang berlaku di UEA sebagai pengganti ketentuan undang-undang ini.
“Menurut undang-undang ini, perempuan diberikan hak yang sama dalam hal memberikan kesaksian, warisan, hak untuk mengajukan cerai, dan hak asuh bersama anak sampai mereka berusia 18 tahun. Selanjutnya, anak-anak akan memiliki hak untuk memilih di antara orang tuanya,” kata Elhais. “Artinya, kesaksian perempuan di pengadilan akan sama dengan laki-laki.”
Dia menjelaskan, hak asuh diberikan sama rata kepada kedua orangtua kecuali salah satu orangtua mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mengecualikan pasangannya berdasarkan kepentingan terbaik anak.
“Dalam kasus ini, kedua orangtua dapat mengajukan permintaan ke pengadilan yang kemudian akan memutuskan apa yang terbaik untuk anak tersebut,” lanjut Elhais.
Dia menambahkan, akad nikah perdata diakui oleh undang-undang ini dan harus memenuhi syarat-syarat, antara lain pasangan harus berusia sekurang-kurangnya 21 tahun, dan memberikan persetujuan dengan mengisi formulir pernyataan di depan hakim.
Untuk mengajukan gugatan cerai, menurut undang-undang yang baru, salah satu pasangan harus memberi tahu pengadilan tentang keinginan mereka untuk mengakhiri pernikahan mereka, tanpa harus membenarkan, menjelaskan atau menyalahkan pasangan lainnya.
Mereka dapat meminta cerai tanpa membuktikan bahwa ada kerugian yang terjadi selama pernikahan mereka.
“Beberapa perubahan yang menonjol dalam undang-undang ini adalah penerapan kalender Gregorian (Masehi) sebagai pengganti Hijriah dan meniadakan kewajiban mencari tuntunan keluarga dalam kasus perceraian,” kata Elhais.
“Satu lagi perubahan penting adalah tunjangan sekarang dihitung dan diputuskan berdasarkan beberapa faktor yang mencakup tahun pernikahan, status keuangan kedua pasangan, dan sejauh mana tanggung jawab suami atas perceraian,” ujarnya.
Laporan: Redaksi