Presiden Iran sebut kampanye “tekanan maksimum” AS terhadap Iran hambat upaya negosiasi

Trump meluncurkan tindakan eksekutif untuk memulihkan apa yang disebut kampanye “tekanan maksimum” terhadap Iran yang bertujuan untuk mencegah Republik Islam tersebut dari apa yang dia klaim “memperoleh senjata nuklir.”
Teheran, Iran (Xinhua/Indonesia Window) – Presiden Iran Masoud Pezeshkian pada Senin (10/2) mengkritik kampanye “tekanan maksimum” Amerika Serikat (AS) terhadap Iran karena hal itu merusak dasar negosiasi, menurut kantor berita resmi Iran, IRNA.
Hal ini disampaikan Pezeshkian di Teheran, ibu kota Iran, dalam pidatonya selama acara peringatan 46 tahun kemenangan Revolusi Islam Iran, dengan mengatakan, “Pada hari ini 46 tahun silam, rakyat Iran mengusir tiran dan penindas dari Iran. Keberhasilan kita terletak pada persatuan, kohesi, dan partisipasi aktif rakyat dalam urusan negara.”
Presiden Iran tersebut menepis klaim Presiden AS Donald Trump yang mengatakan bahwa dia ingin melakukan pembicaraan dengan Iran. “Mereka mengatakan ingin bernegosiasi, tetapi jika Anda benar-benar ingin bernegosiasi, mengapa Anda melakukan kebodohan ini?”
Dia juga menolak klaim AS bahwa Iran melakukan destabilisasi di kawasan tersebut, dengan mengatakan, “Israel, dengan dukungan AS, merupakan sumber ketidakamanan yang sebenarnya, mengebom warga tak berdosa di Gaza, Lebanon, Suriah, Iran, dan di mana pun yang mereka inginkan.”
Sementara itu, menanggapi seruan AS untuk melakukan negosiasi terkait program nuklir Teheran, Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbas Araghchi pada Senin menekankan bahwa negara itu tidak akan pernah melakukan negosiasi di bawah tekanan dan ancaman, lapor IRNA.
“Saat ini, kami berhadapan dengan seorang presiden di AS yang kembali menerapkan kebijakan tekanan maksimum terhadap rakyat Iran,” ujar Araghchi.
“Hal yang menarik adalah saat menandatangani dokumen untuk mengeluarkan perintah agar menempatkan rakyat Iran di bawah tekanan tertinggi, di saat yang sama, presiden AS tersebut berbicara perihal kesiapannya untuk melakukan negosiasi sebagai sarana penipuan,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa AS memiliki rekam jejak yang panjang dalam hal pelanggaran sumpah, di mana salah satu contohnya adalah saat implementasi perjanjian nuklir antara Iran dan sejumlah negara besar dunia pada 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA).
Iran tidak akan membiarkan siapa pun memaksakan kehendak mereka kepada negara itu melalui ancaman dan sanksi, imbuh sang menteri.
Trump meluncurkan tindakan eksekutif pada pekan lalu untuk memulihkan apa yang disebut kampanye “tekanan maksimum” terhadap Iran yang bertujuan untuk mencegah Republik Islam tersebut dari apa yang dia klaim “memperoleh senjata nuklir.”
Pada Kamis (6/2), Departemen Keuangan AS mengumumkan penjatuhan sanksi terhadap lebih dari belasan orang dan perusahaan yang dituduh memfasilitasi pengiriman jutaan barel minyak mentah Iran.
Iran meneken JCPOA dengan enam negara besar dunia pada Juli 2015, menerima pembatasan program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi. Namun, selama masa jabatan presiden pertama Trump, AS menarik diri dari perjanjian itu pada Mei 2018 dan memberlakukan kembali sanksi-sanksi tersebut, memicu Iran untuk mencabut beberapa komitmen nuklirnya.
Upaya untuk mengaktifkan kembali JCPOA belum mencatatkan kemajuan yang substansial.
Laporan: Redaksi