Paradoks Biodiesel: Hijau di permukaan, timpang dalam kepemilikan

Program B20, B30, dan kini B35—yang segera berlanjut ke B40—diklaim sebagai bukti nyata komitmen Indonesia dalam menekan emisi karbon dan memperkuat ketahanan energi.
Ketika dunia tengah berlomba mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, Indonesia
tampil di garis depan dengan kebijakan mandatori biodiesel berbasis kelapa sawit. Program B20, B30, dan kini B35—yang segera berlanjut ke B40—diklaim sebagai bukti nyata komitmen
Indonesia dalam menekan emisi karbon dan memperkuat ketahanan energi.
Dalam berbagai pidato dan dokumen resmi, biodiesel selalu digadang sebagai solusi ganda: transisi energi terbarukan sekaligus jalan keluar dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Namun, di balik cerita sukses itu, ada realitas yang sering terabaikan: ketimpangan dalam struktur kepemilikan, akses, dan distribusi manfaat dari kebijakan ini. Siapa sebenarnya yang diuntungkan? Dan siapa yang tertinggal?
Untuk menjawabnya, kita perlu meninjau ulang kebijakan ini dari perspektif property rights dan ekonomi kelembagaan. Dengan cara ini, kita bisa memahami bahwa transisi energi bukan hanya soal pengurangan emisi, tapi juga tentang siapa yang punya kuasa atas sumber daya—dan siapa yang tidak.
Biodiesel berbasis sawit memang menjanjikan. Ia mampu menggantikan solar, mengurangi impor, menekan defisit neraca perdagangan, serta—di atas kertas—mengurangi emisi karbon.
Kementerian ESDM mencatat, program B30 mampu menghemat devisa hingga 64 triliun rupiah pada 2021 dan mengurangi emisi sebesar 22,3 juta ton CO₂ (Kementerian ESDM, 2023).
Namun jika kita perhatikan lebih dalam, sekitar 40 persen perkebunan kelapa sawit dikelola petani rakyat, sementara sisanya dikuasai oleh perusahaan besar.
Ironisnya, insentif biodiesel yang disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) nyaris seluruhnya dinikmati oleh produsen biodiesel berskala besar—yang memiliki pabrik pengolahan dan jaringan distribusi sendiri.
Sementara itu, petani kecil hanya menjual Tandan Buah Segar (TBS) ke tengkulak dengan harga rendah dan tanpa akses ke insentif negara yang semestinya ditujukan untuk seluruh pelaku rantai pasok (BPDPKS, 2023).
Di sinilah pentingnya kita memahami konsep property rights. Teori ini menjelaskan bahwa
kepemilikan atas sumber daya bukan hanya menyangkut legalitas formal, tapi juga mencakup hak untuk mengakses, mengelola, dan mengambil manfaat dari sumber daya tersebut.
Dalam industri biodiesel, perusahaan besar memegang hampir seluruh bentuk hak ini: mereka memiliki lahan, pabrik, kontrol atas harga, serta akses ke insentif dan pasar ekspor. Sebaliknya, petani kecil hanya memegang hak terbatas atas lahan yang mereka kelola—dan bahkan tidak semua petani memiliki sertifikat kepemilikan lahan secara legal.
Akibat ketimpangan ini, struktur pasar menjadi oligopolistik. Perusahaan besar bukan hanya
mendikte harga, tapi juga menentukan siapa yang boleh berpartisipasi dalam rantai pasok dan siapa yang harus tersingkir. Tanpa akses terhadap fasilitas pengolahan, pasar, dan insentif, petani kecil hanya menjadi bagian dari sistem yang terus-menerus menempatkan mereka di posisi terlemah.
Analisis ini semakin relevan bila kita mengacu pada pandangan Douglass C. North, seorang
ekonom kelembagaan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi, yang menyatakan bahwa institusi—baik formal seperti regulasi, maupun informal seperti norma sosial—berperan penting dalam
membentuk hasil-hasil ekonomi.
North menekankan bahwa perubahan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari evolusi institusi, karena institusi menentukan bagaimana hak-hak dipertukarkan dan ditegakkan (North, 1990).
Dalam konteks kebijakan biodiesel, kelembagaan yang ada justru tidak menjamin distribusi manfaat secara adil. Hal ini tercermin dari kewajiban sertifikasi seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
Sertifikasi ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa produksi sawit dilakukan secara berkelanjutan—baik secara lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Namun bagi petani kecil, proses sertifikasi ini menjadi penghalang. Biayanya tinggi, prosedurnya rumit, dan persyaratannya sering kali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Akibatnya, banyak petani tidak mampu masuk ke rantai pasok resmi industri biodiesel karena tidak memiliki sertifikasi ini (SPKS, 2019).
Selain itu, koperasi petani belum banyak diberdayakan sebagai aktor utama dalam rantai nilai biodiesel. Program biodiesel skala rumah tangga atau pabrik mini yang dapat dikelola oleh petani tidak berkembang secara signifikan. Padahal, inisiatif seperti ini bisa menjadi jalan untuk memperluas kepemilikan produktif dan mengurangi dominasi perusahaan besar.
Lebih lanjut, isu lingkungan turut mempertegas paradoks kebijakan ini. Biodiesel sering diklaim sebagai solusi ramah lingkungan, namun data menunjukkan hal sebaliknya.
Menurut Badan Pusat Statistik, antara 2013 hingga 2022, Indonesia kehilangan 2,6 juta hektar hutan. Jika setiap hektar menghasilkan emisi 485ton CO₂ (World Resources Institute, 2021), maka total emisi dari deforestasi tersebut mencapai lebih dari 1,2 miliar ton CO₂—jauh melebihi penghematan emisi dari program biodiesel seperti B30.
Kajian dari LPEM FEB UI juga menunjukkan bahwa apabila kebijakan biodiesel ditingkatkan ke level B50 tanpa disertai peningkatan produktivitas, maka akan dibutuhkan tambahan lahan sawit hingga 9 juta hektar (LPEM FEB UI, 2020). Ini tentu membawa ancaman serius terhadap hutan alam dan keberlanjutan sistem pangan nasional.
Oleh karena itu, ketimpangan yang terjadi dalam kebijakan biodiesel bukan hanya persoalan
sosial, tetapi juga menunjukkan kelemahan mendasar dalam desain kebijakan energi nasional.
Untuk mengoreksi arah kebijakan ini, diperlukan serangkaian langkah serius. Pertama,
pemerintah melalui BPDPKS perlu membuka skema pembiayaan khusus bagi koperasi petani
untuk membangun mini-refinery, bukan hanya untuk perusahaan besar.
Kedua, akses terhadap sertifikasi ISPO dan RSPO harus dipermudah, melalui subsidi biaya dan pendampingan teknis yang memadai.
Ketiga, perlu ada upaya redistribusi dan penguatan hak atas lahan bagi petani melalui skema kemitraan yang lebih adil, seperti equity sharing. Keempat, sistem pelaporan penerima subsidi biodiesel harus transparan dan dapat diawasi publik agar mencegah penyalahgunaan dan monopoli.
Terakhir, alih-alih mendorong ekspansi lahan baru, pemerintah sebaiknya fokus pada intensifikasi—yakni peningkatan produktivitas kebun rakyat yang saat ini masih jauh di bawah potensi maksimalnya.
Pada akhirnya, transisi energi haruslah sejalan dengan transisi kepemilikan. Energi yang adil
bukan hanya tentang mengganti sumber daya, tapi juga tentang mendistribusikan manfaatnya secara merata.
Kebijakan energi terbarukan seharusnya tidak menjadi instrumen baru bagi konsentrasi kekuasaan ekonomi, melainkan menjadi alat untuk memberdayakan petani, memperkuat komunitas lokal, dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Selesai
Penulis: Aziz Fauzul Adzim [Mahasiswa Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (MPKP FEB UI)]