Banner

Jakarta (Indonesia Window) – Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) mengatakan bahwa karbon dioksida akan naik sebesar 4 persen di seluruh kelompok pembangunan G20 tahun ini, setelah turun 6 persen pada tahun 2020 karena pandemik COVID-19.

China, India dan Argentina akan melampaui tingkat emisi 2019 masing-masing, sebut laporan tersebut, menurut laporan BBC yang dikutip, Kamis.

Para penulis laporan itu mengatakan bahwa penggunaan bahan bakar fosil yang berkelanjutan merusak upaya untuk mengendalikan suhu.

Dengan hanya dua pekan tersisa sampai konferensi iklim kritis COP26 dibuka di Glasgow, Skotlandia, tugas yang dihadapi para negosiator sangatlah berat.

Salah satu tujuan utama dari pertemuan tersebut adalah untuk mengambil langkah-langkah guna menjaga ambang batas suhu 1,5 derajat Celsius yang berada dalam jangkauan.

Dengan suhu dunia saat ini sekitar 1,1 derajat Celsius lebih hangat daripada masa pra-industri (1850-1900), membatasi kenaikan bertahap di masa depan sangat menantang.

Jika konferensi Glasgow ingin berhasil dalam menjawab pertanyaan ini, maka negara-negara yang menghasilkan karbon paling banyak harus menerapkan kebijakan yang ambisius.

Kelompok G20 bertanggung jawab atas sekitar 75 persen emisi global, yang turun secara signifikan tahun lalu karena pembatasan kegiatan ekonomi sebagai langkah menghadapi COVID-19.

Namun tahun ini emisi kembali naik, didorong oleh penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara.

Menurut laporan yang disusun oleh 16 organisasi penelitian dan kelompok kampanye lingkungan itu, penggunaan batu bara di seluruh G20 diproyeksikan meningkat sebesar 5 persen tahun ini.

Hal ini terutama disebabkan oleh China yang bertanggung jawab atas sekitar 60 persen dari kenaikan, serta AS dan India.

Penggunaan batubara di China telah melonjak tajam menyusul peningkatan permintaan energi seiring dengan pulihnya ekonomi global.

Harga batubara saat ini naik hampir 200 persen dari tahun lalu.

Dengan Pemerintah China mengumumkan perubahan kebijakan pekan ini yang memungkinkan pembangkit listrik tenaga batu bara mengenakan tarif pasar untuk energi mereka, hal ini diperkirakan memacu lebih banyak penggunaan bahan bakar fosil ini tahun ini.

Laporan Transparansi Iklim juga menemukan bahwa penggunaan gas meningkat sebesar 12 persen di seluruh G20 pada periode 2015-2020.

Sementara para pemimpin politik telah berjanji bahwa pemulihan global dari COVID-19 harus berfokus pada lingkungan hidup, komitmen keuangan yang dibuat oleh negara-negara kaya tidak mendukung hal ini.

Dari 1,8 triliun dolar AS (sekira 25.459 triliun rupiah) yang telah dialokasikan untuk pemulihan, hanya 300 miliar dolar AS (sekitar 4.243 triliun rupiah) yang akan digunakan untuk proyek-proyek hijau.

Angka tersebut hampir menyamai 298 miliar dolar AS yang dihabiskan oleh negara-negara G20 dalam mensubsidi industri bahan bakar fosil hingga Agustus 2021.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Banner

Iklan