Banner

Feature – Sejarah sajadah panjang Muhammadiyah

Prof. Winai Dahlan (kanan), cucu Pendiri Muhammadiyah Kauman Yogyakarta, Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan), dan Muhammad Gunawan Yasni (kiri), cucu pendiri Muhammadiyah Padang Panjang Sumbar, Darwis Abdul Muin. Mereka bertemu pada ‘Indonesia International Halal Lifestyle Conference 2024’ di Jakarta pada 31 Oktober 2024 (Foto: Dok. Aat Surya S)

Penulis: Aat Surya Safaat*         

 

Dimulai dari beberapa kali pertemuan formal dalam interview ataupun forum diskusi tentang ekosistem halal, terkuaklah beberapa hal terkait berdirinya Muhammadiyah sebagai ormas Islam kedua terbesar di Indonesia namun paling signifikan kiprahnya di dunia perumahsakitan dan pendidikan yang bahkan sudah merambah global.

Dua cucu pendiri Muhammadiyah yang ‘hilang’, atau lebih tepatnya tidak ingin mengungkit jasa-jasa kakek mereka sebagai inisiator berdiri dan bersatunya Muhammadiyah secara nasional menarik untuk dibahas.

Prof. Winai Dahlan, Guru besar di Universitas Chulalongkorn dan inisiator sistem halal modern di Thailand yang bukan warga negara Indonesia dan tidak terkait kepengurusan Muhammadiyah, adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan), pendiri Muhammadiyah Kauman Yogyakarta.

Di sisi lain, Muhammad Gunawan Yasni, seorang pakar, profesional dan praktisi keuangan syariah serta unsur pimpinan dan bendahara dari Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia, yang suka risih apabila disebutkan deretan gelar akademis dan profesionalnya, adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki Darwis Abdul Muin, pendiri Muhammadiyah Padang Panjang, Sumatera Barat.

Atas inisiasi dan nasihat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada masanya, kedua pendiri Muhammadiyah itu bersepakat untuk menjadikan Muhammadiyah bersatu antara Jawa dan Sumatra dengan pusat di Yogyakarta.

Jiwa besar Darwis Abdul Muin, yang walaupun mendeklarasikan Muhammadiyah Padang Panjang beberapa bulan lebih dulu dari Muhammadiyah Yogyakarta, mengakui bahwa Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) lebih pantas ketokohannya untuk dijadikan pimpinan Muhammadiyah yang bisa mempersatukan Nusantara dengan ke-Muhammadiyahan-nya.

Keikhlasan beramal shalih

Keluarga para pendiri Muhammadiyah itu tak perrnah menonjolkan diri sebagai trah pendiri Muhammadiyah. Mereka paham dengan keikhlasan kakek-kakek mereka bahwa biarkanlah Muhammadiyah menjadi amal jariyah yang mengejawantah menjadi sejarah sajadah panjang yang berpahala, Insya Allah, dan turun temurun keberkahannya kepada seluruh keluarga mereka.

Profesionalisme yang dijalankan Prof. Winai maupun Gunawan Yasni tanpa membawa-bawa embel-embel terkait hal-hal pendirian Muhammadiyah oleh kakek mereka menjadi penyejuk di tengah hiruk pikuknya perkembangan trah perpolitikan, trah ke-kyai-an dan trah-trah lain yang menjadi legitimasi kekuasaan politik, ormas dan perkumpulan-perkumpulan lainnya.

Prof. Winai maupun Gunawan Yasni sudah puluhan tahun menggeluti ke-halal-an dan ke-syariah-an yang menjadikan mereka berada di tengah-tengah pusat kehalalan dan kesyariahan ekonomi dan keuangan serta sektor riil global maupun Indonesia dengan hanya membawa profesionalitas mereka.

Gunawan Yasni bersama ayahnya Dr. Zainul Yasni dianggap sama-sama mempunyai kepakaran di bidang ekonomi dan keuangan syariah pada masing-masing zamannya. Keduanya sama-sama dinisbatkan kepada 1001 tokoh Minang yang berpengaruh oleh penggagas buku ‘1001 Tokoh Minang’ Hasril Chaniago.

Sejarah panjang       

Ketika Gunawan Yasni bersekolah SMA di Yordania mengikuti ayahnya yang berkedudukan sebagai Dubes RI untuk Yordania dan Palestina pertama, Ratu Rania remaja sempat menjadi kawan SMA-nya sebagaimana Dr. Zainul Yasni sangat dekat dengan Raja Hussein, ayah dari Raja Abdullah, suami Ratu Rania yang bahkan sempat diajak resmi mengunjungi Indonesia.

Profesionalitas yang didukung dengan kemampuan berdiplomasi yang bernas menjadi sesuatu yang mendarah daging pada diri anak cucu pendiri Muhammadiyah tersebut.

Sama seperti pendahulunya, keengganan membawa embel-embel keakuan ataupun sekadar ke-Muhammadiyah-an di atas kepentingan yang lebih besar sepertinya menjadi ke-egois-an dalam berkorban sebagaimana para nabi dan orang-orang shalih terdahulu.

Kata-kata bijak yang ‘blunt’ dalam bahasa Inggris yang lebih merupakan bahasa pikiran seorang Gunawan Yasni, “I don’t give a damn about people but I give a damn about Allah – Saya tidak peduli manusia tapi saya peduli Allah” merupakan pengejawantahan bahwa apa yang dilakukan adalah untuk Allah, bukan sekadar untuk manusia.

Satire syariah untuk semua

Banyak trah perpolitikan, trah kekyaian dan trah-trah lainnya yang mengatasnamakan mendukung syariah agar mereka bisa langsung duduk di puncak-puncak kekuasaan, padahal mereka ketika berkuasa tidak banyak melakukan hal-hal signifikan agar syariah berkembang secara esensial dan substansial.

Apa yang ada malah membuat syariah ber-budget tinggi karena harus menyiapkan komunitas-komunitas, komite-komite, atau badan-badan yang isinya hanya orang-orang yang itu-itu saja tanpa parameter setting yang jelas untuk penghitungan ‘input output productivity’ dari budget yang dikeluarkan.

Sementara semisal Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang tidak ada alokasi budget rutin khusus dari pihak manapun dan hanya mengandalkan kemanfaatan aktivitas mereka dalam memberikan naungan, nasihat, fatwa dan arahan dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah serta sektor riilnya menjadi acuan bagi industri syariah serta  produktif konservatif dalam banyak hal kesyariahan.

Pihak semisal DSN-MUI inilah yang sepantasnya diisi orang-orang professional, bukan semata wakil-wakil ormas untuk bisa menjadi ‘Rahmatan lil ‘aalamiin’.

Tidak berlebihan jika kondisi yang ada digambarkan dengan kata-kata pantun satire sebagai berikut:

Kamu bersyariah saja susah…

Bagaimana mau mudah.

Banyak maumu…

Tapi singkat ikhtiarmu.

Bukan masalahmu yang berat…

Tapi kamu terlambat mengikuti syariat.

Allah Ta’ala telah memberi semuanya…

Tapi kamu bersyariah semaunya.

Permintaanmu beribu-ribu…

Tapi syariahmu ditikung-tikung terburu-buru.

Mimpi dan cita-citamu setinggi langit…

Tapi implementasi syariahmu cuma di langit-langit.

Ingin cepat terkabul syariah yang kau damba…

Tapi kau senantiasa ragu dengan ketetapan-Nya.

Maunya implementasi syariah dimudahkan…

Tapi pertimbangan akal sehat sering dilupakan.

Inginnya syariah dapat membuat tenang dan bahagia…

Tapi diskusi-diskusi syariah bukan dengan senang dibuka.

Jadi apa sih sebenarnya maumu…

Masih saja tidak sejalan dengan Allah Ta’ala Tuhanmu.

Nas’alullaaha as-salaamah wal ‘afiyah.

Allaahul muwafiq ila aqwamith thariiq.

Allahu ya’khudzu bi’aidina ila ma fihi khayr lil islam wal muslimin.

Fastabiqul khayraat.

Billaahi sabiilil haqq.

Wabillaahi tawfiq wal hidayah.

Semoga keikhlasan para pendiri Muhammadiyah beserta anak cucunya yang ikhlas dalam beramal shalih dan yang meneladani orang-orang shalih dan para nabi dapat menjadi ibrah bagi siapa saja yang berjiwa negarawan sekaligus agamawan untuk Indonesia yang lebih baik. Aamiin Yaa Rabb.

*Aat Surya Safaat adalah Penasihat Forum Akademisi Indonesia (FAI). Pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA New York (1993-1998) dan Direktur Pemberitaan ANTARA (2016).

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan