Bermain layang-layang menjadi ‘obat’ trauma perang bagi para pengungsi anak-anak di kota paling selatan Jalur Gaza, Palestina.
Gaza, Palestina (Xinhua) – Hamad al-Siksik, seorang remaja Palestina yang saat ini tinggal di Rafah, hampir setiap hari sibuk membuat layang-layang untuk para pengungsi anak-anak di kota paling selatan Jalur Gaza yang dilanda konflik tersebut.
“Ini pertama kalinya sejak konflik meletus di Gaza, kami melihat lagi layang-layang di langit,” ujar remaja laki-laki berusia 14 tahun itu. “Layang-layang ini telah memberi kami kegembiraan, terlepas dari semua keadaan yang mengerikan.”
Sebulan yang lalu, Al-Siksik membuat layang-layang pertama untuk dimainkan bersama saudara-saudaranya di kamp pengungsi yang mereka tinggali, sebuah langkah yang kemudian memotivasi anak-anak lain untuk membeli layang-layang.
Permintaan anak-anak tersebut membuat al-Siksik terinspirasi untuk memulai usaha pembuatan layang-layang agar dapat menghasilkan uang demi membantu keluarganya yang beranggotakan 15 orang melewati masa-masa sulit.
“Situasinya sangat sulit di sini. Saya hanya bisa menghasilkan sekitar 10 dolar AS per hari, dan jumlah itu bahkan tidak cukup untuk membeli beras bagi keluarga saya,” katanya.
Namun, al-Siksik mengatakan dirinya tetap merasa bahagia karena dapat membantu memberi kebahagiaan bagi anak-anak lain.
“Saya berharap suatu hari nanti, kami bisa bergerak bebas seperti layang-layang ini,” ujarnya. “Kami lelah menyaksikan perang dan kematian di Gaza. Kami memiliki hak untuk hidup seperti anak-anak di belahan dunia lainnya, tanpa khawatir dengan keadaan yang akan kami jalani selama sisa hidup kami.”
Samed Yassin, seorang pria Palestina yang mengungsi dari Gaza City, mengatakan dirinya senang melihat putra bungsunya, Wajih, menerbangkan layang-layang bersama teman-temannya.
“Partisipasi anak saya dalam permainan semacam itu membantunya menghilangkan tekanan psikologis yang dideritanya akibat ledakan yang terus-menerus terjadi di Jalur Gaza. Hal ini juga memberinya kesempatan untuk menyadari bahwa hidup akan terus berjalan dan perang akan berakhir suatu hari nanti, dan kami akan kembali ke kehidupan normal,” ujar ayah tiga anak berusia 35 tahun itu.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan militer berskala besar terhadap Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Jalur Gaza, yang merenggut nyawa 28.176 warga Palestina dan menyebabkan 67.784 orang lainnya luka-luka, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yang dijalankan Hamas pada Minggu (11/2).
Konflik pecah setelah Hamas melancarkan serangan mendadak ke Israel selatan, di mana sekitar 1.200 orang di Israel tewas dan lebih dari 200 orang disandera.
*1 dolar AS = 15.685 rupiah
Laporan: Redaksi